WHAT'S NEW?
Loading...


MAKALAH
Harta Benda
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqh Muamalah
Dosen Pengampu : Bapak Miftah Ahmad Fatoni




Disusun Oleh :

Hafidz Cahya Adiputra          (122211002)


FAKULTAS  SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015


BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Harta sangat esensial bagi kehidupan manusia, karena kita tidak dapat hidup tanpa harta. Untuk menjalani hidup, manusia harus memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Oleh sebab itu, salah satu naluri atau kecenderungan manusia yang paling menonjol adalah naluri untuk mencari dan memiliki harta. Naluri ini bersifat wajar, alami dan manusiawi.
Islam sebagai agama yang berorientasi kepada perwujudan kemaslahatan manusia dan menginginkan mereka hidup berbahagia didunia dan diakhirat, sudah tentu tidak mencela dan membenci harta. Sebaliknya, islam menyeru umat manusia agar giat berusaha dan bekerja dalam rangka mencari nafkah, rejeki atau harta.
Bersamaan dengan dorongan agar manusia giat bekerja dan berusaha mencari harta, islam membawa norma dan aturan-aturansebagai petunjuk dan arahan tentang bagaimana seyogyanya manusia besikap atau berperilaku dalam berhadapan dengan persoala harta.
Mulai dari permasalahan diatas, pemakalah akan menguraikan pesoalan-persoalan yang dianggap penting dalam rumusan masalah kami. Agar kita dapat memahami bagaimana harta itu dikondisikan sebagai harta yang menopang kehidupan manusia, bukan sebagai “hamba harta”.
B.     Rumusan masalah
1.      Apa pengertian harta benda?
2.      Apa unsur-unsur harta?
3.      Bagaimana kedudukan harta?
4.      Apa saja pembagian harta?
5.      Apa saja fungsi harta?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian harta benda
Harta dalam bahasa arab disebut al-mal yang berasal dari kata ماَلَ – يَمِيْلُ – مَيْلً yang berarti condong, cenderung dan miring.
Sedangkan al-mal menurut istilah imam hanafiyah ialah :
مَايَمِيْلُ إِلَيْهِ طَبْعُ الْاِنْسَانِ وَيُمْكِنُ إِخَارُهُ إِلَى وَقْتِ الْحَاجَةِ
Artinya : sesuatu yang digandrungi tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga dibutuhkan.[1]
Menurut Hanafiyah, harta mesti dapat disimpan, sehingga sesuatu yang tidak dapat disimpan tidak dapat disebut harta. Menurut hanafiyah, manfaat tidak termasuk harta, tetapi manfaat termasuk milik. Hanafiyah membedakan harta dengan milik,yaitu :
Milik adalah sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan tidak dicampuri penggunaannya oleh orang lain.
Harta adalah segala sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika dibutuhkan. Dalam penggunaannya, harta bisa dicampuri oleh orang lain. Jadi menurut Hanafiyah yang dimaksud harta hanyalah sesuatu yang berwujud (a’yan).
Menurut sebagian para ulama yang dimaksud harta ialah :
مَايَمِيْلُ إِلَيْهِ الطَّبْعُ وَيَجْرِىْ فِيْهِ الْبَذْلُ وَالْمَنْعُ
Artinya : sesuatu yang diinginkan manusia berdasarkan tabiatnya, baik manusia itu akan memberikannya atau akan menyimpannya.
Menurut sebagian ulama lainnya bahwa yang dimaksud dengan harta ialah :
كُلُّ عَيْنٍ ذَاتِ قِيْمَةٍ مَادِّيَّةٍ مُتَدَاوِلَةٍ بَيْنَ النَّاسِ
Artinya : segala zat (‘ain) yang berharga, bersifat materi yang berputar diantara manusia.
Sementara menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, yang dimaksud dengan harta ialah :
1.      Nama selain manusia yang diciptakan Allah SWT untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, dapat dipelihara pada suatu tempat dan dikelola (tasharruf) dengan jalan ikhtiar.
2.      Sesuatu yang dapat dimiliki oleh setiap manusia, baik oleh seluruh manusia maupun oleh sebagian manusia.
3.      Sesuatu yang sah untuk diperjualbelikan
4.      Sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai (harga) seperti sebiji beras dapat dimiliki oleh manusia. Dapat diambil kegunaannya dan dapat disimpan. Tetapi sebiji beras menurut ‘urf tidak bernilai (berharga). Maka sebiji beras tidak termasuk harta.
5.      Sesuatu yang berwujud, sedangkan sesuatu yang tidak berwujud mekipun dapat diambil manfaatnya tidak termasuk harta.
6.      Sesuatu yang dapat disimpan dalam waktu yang lama atau sebentar dan dapat diambil manfaatnya ketika dibutuhkan.
Dengan dikemukakan definisi diatas, maka dapat dipahami bahwa para ulama masih berbeda pendapat dalam menentukan definisi harta sehingga terjadi perselisihan pendapat para ulama dalam pembagian harta.
Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan bahwa harta adalah nama bagi selain manusia, dapat dikelola, dapat dimiliki, dapat diperjualbelikan dan berharga, konsekuensi logis rumusan ini ialah :
1.      Manusia bukanlah harta seklipun berwujud.
2.      Babi bukanlah harta karena babi bagi muslimin haram untuk diperjualbelikan.
3.      Sebiji beras bukanlah harta karena sebiji beras tidak memiliki nilai (harga) menurut ‘urf.
Hanafiyah menyatakan bahwa definisi harta ialah sesuatu yang berwujud dan dapat disimpan sehingga sesuatu yang tidak berwujud dan tidak dapat disimpan bukan termasuk harta, seperti hak dan manfaat.[2]
B.     Unsur-unsur harta
Menurut para fuqaha harta bersendi pada 2 unsur yaitu unsur ‘aniyah dan unsur ‘urf. Unsur ‘aniyah ialah bahwa harta itu ada wujudnya dalam kenyataan (a’yan). Manfaat sebuah rumah yang dipelihara oleh manusia tidak disebut harta, tetapi termasuk milik atau hak.
Sedangkan ‘urf ialah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatu kecuali menginginkan manfaatnya madiyah maupun manfaat ma’nawiyah.[3]
C.     Kedudukan harta
Dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa harta merupakan perhiasan dunia. Allah berfirman :

Artinya : Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.[4]
  
Artinya : Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
Pada ayat diatas dijelaskan bahwa kebutuhan manusia atau kesenangan manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan manusia terhadap anak atau keturunan. Jadi, kebutuhan manusia terhadap harta merupakan kebutuhan yang mendasar.
Disamping sebagai perhiasam dan kebutuhan, harta juga berkedudukan sebagai amanat (fitnah), allah berfirman :

Artinya : Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.
Karena harta sebagai titipan, manusia tidak memiliki harta secara mutlak sehingga dalam pandangan tentang harta. Terdapat hak-hak orang lain dalam harta tersebut, seperti zakat, infaq, shadaqah, dll.
Konsekuensi logis ayat-ayat alqur’an diatas ialah :
1.      Manusia bukan pemilik mutlak tetapi dibatasi oleh hak-hak Allah SWT sehingga wajib baginya untuk mengeluarkan sebagian kecil hartanya untuk berzakat dan ibadah lainnya.
2.      Cara pengambilan manfaat harta mengarah kepada kemakmuran bersama, pelaksanaannya dapat diatur oleh masyarakat melalui wakil-wakilnya.
3.      Harta perorangan boleh digunakan untuk umum, dengan syarat pemiliknya memperoleh imbalan yang wajar.
Disamping diperhatikannya kepentingan umum, kepentingan pribadi juga diperhatikan. Ketentuan-ketentuan tersebut ialah :
1.      Masyarakat tidak boleh mengganggu dan melanggar kepentingan pribadi selama tidak merugikan orang lain dan masyarakat.
2.      Karena pemilikan manfaat berhubungan dengan hartanya, maka pemilik (manfaat) boleh memindahkan hak miliknya kepada orang lain. Misalnya dengan cara menjualnya, menghibahkannya, dll.
3.      Pada pokoknya, pemilikan manfaat itu kekal, tidak terikat oleh waktu.
Berkenaan dengan harta pula, dalam alquran dijelaskan larangan-larangan yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi, dalam hal ini meliputi : produksi, distribusi dan konsumsi harta. Dalam hal ini ada beberapa bentuk-bentuk larangan yaitu :
a.       Perkara-perkara yang merendahkan martabat dan akhlak manusia, berupa :
1)      Memakan harta sesama manusia dengan cara yang batil
2)      Memakan harta dengan jalan penipuan
3)      Memakan harta dengan jalan melanggar janji dan sumpah
4)      Memakan harta dengan jalan pencurian
b.      Perkara yang merugikan hak perorangan dan kepentingan sebagian  atau seluruh masyarakat, berupa perdagangan yang memakai bunga.
c.       Penimbunan harta dengan jalan kikir
d.      Aktivitas yang merupakan pemborosan (mubadzir)
e.       Memproduksi, memperdagangkan dan mengkonsumsi barang yang terlarang seperti narkotika dan minuman keras.
Kaidah ushul menyatakan :
أَلْاَصْلُ فِى الْعُقُوْدِ وَالْمُعَامَلَةِ الصِّحَّةُ حَتَّى يَقُوْمَ الدَّلِيْلُ عَلَى الْبُطْلَانِ وَالتَّحْرِيْمِ
Artinya : asal atau pokok dalam masalah transaksi dan muamalah adalah sah, sehingga ada dalil yang membatalkan dan yang mengharamkannya.
Selain yang dilarang, semua kegiatan yang dilakukan dalam memfungsikan harta pada prinsipnya dibolehkan, baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan individual maupun dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Kaidah pokok ini didasarkan kepada sabda Nabi Muhammad SAW yang menyatakan:
أَنْتُم اَعْلَمُ بِاُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ
Artinya : kamu lebih mengetahui mengenai urusan duniamu. (HR. Ahmad).[5]
D.    Pembagian harta
Menurut fuqaha, harta dapat ditinjau dari beberapa segi. Harta terdiri dari beberapa bagian, tiap-tiap bagian memiliki ciri khusus dan hukumnya tersendiri. Pembagian jenis harta ini antara lain :
1.      Mal Mutaqawwim dan ghair mutaqawwim
a.       Harta mutaqawwin ialah :
Artinya : sesuatu yang boleh diambil manfaatnya menurut syara’
Harta yang termasuk mutaqawwim ialah semua harta yang baik, dalam jenisnya maupun cara memperoleh dan penggunaanya. Misalnya : kerbau halal dimakan oleh umat islam. Tetapi kerbau tersebut disembelih tidak sah menurut syara’. Misalnya karena menyebut nama selain Allah dalam penyembelihannya. Maka daging kerbau tidak dapat dimanfaatkan karena cara penyembelihannya batal menurut syara’.
b.      Harta Ghair mutaqawwim ialah :
Artinya : sesuatu yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut syara’.
Harta yang ghai mutaqawwim ialah kebalikan dari harta mutaqawwim yakni yang tidak boleh diambil manfaatnya. Baik dari jenis nya, cara memperolehnya maupun cara penggunaannya. Misalnya babi, karena haram dalam jenis nya. Sepatu yang diperoleh dengan cara mencuri juga termasuk Ghair mutaqawwim. Uang yang disumbangkan untuk mendanai terorisme, termasuk Ghair mutaqawwim karena penggunaan harta itu.[6]
2.      Mal Misli dan Mal Qimi
a.       Harta misli ialah :
Artinya : benda-benda yang ada persamaannya dalam kesatuan-kesatuannya. Dalam arti dapat berdiri sebagiannya ditempat yang lain tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai.
b.      Harta Qimi ialah :
Artinya : benda-benda yang kurang dalam kesatuan-kesatuannya karena tidak dapat berdiri sebagian ditempat, sebagian lainnya tanpa ada perbedaan.
Dengan kata lain harta misli adalah harta yang jenis nya diperoleh dipasar, sedangkan qimi adalah harta yang jenisnya sulit didapat dipasar. Harta qimi dan misli bersifat relatif dan kondisional artinya bisa saja di suatu tempat atau negara mengebutnya barang itu qimi dan dinegara lain menyebutnya sebagai misli.
3.      Harta istihlak dan harta isti’mal
a.       Harta istihlak ialah : sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaan dan manfaatnya secara biasa. Kecuali dengan menghabiskannya.
Harta istihlak dibagi menjadi 2 yaitu : istihlak haqiqi dan istihlak huquqi. Harta istihlak haqiqi ialah suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas zat nya habis dalam sekali penggunaannya. Misalnya bensin, korek api.
Sedangka istihlak huquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila digunakan, tetapi zat nya masih ada. Misal nya batu batre (yang tidak dapat di charge). Uang untuk bayar utang. Dipandang habis meskipun uang tersebut masih utuh, hanya pindah kepemilikan.
b.      Harta isti’mal ialah : sesuatu yang dapat digunakan berulang kali dan materinya tetap terpelihara. Misal nya sepatu, pakaian,dll.
Perbedaan dari 2 harta ini ialah harta istihlak habis dalam sekali pemakaian, sedangkan harta isti’mal tidak habis dalam satu kali pemakaian dan bersifat jangka panjang (lama).
4.      Harta manqul dan harta Ghair manqul
a.       Harta manqul ialah segala harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari satu tempat ke tempat lain. Misalnya : kendaraan, sepeda, emas.
b.      Harta Ghair manqul ialah sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan dibawa dari satu tempat ke tempat yang lain. Misalnya : rumah, pabrik, tanah, sawah, dll.
Dalam hukum perdata, harta manqul dan harta ghair manqul digunakan dengan istilah benda bergerak dan benda tetap.
5.      Harta ‘ain dan harta Dayn
a.       Harta ‘ain ialah harta yang berbentuk benda. Misalnya mobil, rumah, dll. Harta ‘ain dibagi menjadi 2 yaitu harta ‘ain dzati qimah dan harta ‘ain ghair dzati qimah.
Harta ‘ain dzati qimah adalah benda yang memiliki bentuk yang dipandang sebagai harta karena memiliki nilai.
Harta ‘ain ghair dzati qimah adalah benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta karena tidak memiliki harga. Misalnya sebiji beras.
b.      Harta Dayn ialah sesuatu yang berada dalam tanggung jawab. Seperti uang yang berada dalam tanggung jawab seseorang.
6.      Mal al-‘ain dan mal al-naf’i (manfaat)
a.       Harta aini ialah benda yang memilki nilai dan berbentuk, misalnya rumah, ternah, dll.
b.      Harta naf’i ialah a’radl yang berangsur-angsur tumbuh menurut perkembangan masa. Misalnya pohon
7.      Harta mamluk, mubah dan mahjur
a.       Harta mamluk ialah sesuatu yang milik seseorang maupun badan hukum seperti yayasan dan pemerintah.  Harta mamluk dibagi menjadi 2 yaitu harta perorangan dan harta perkongsian.
Harta peroranan (mustaqil) berpautan dengan hak bukan pemilik. Misalnya memakai rumah kontrakan.
Harta perkongsian (masyarakat) antara dua pemilik yang berkaitan dengan hak yang bukan pemiliknya. Misalnya dua orang yang berkongsi membuat sebuah pabrik rengginang, pabrik tersebut dimiliki dengan cara menyewa selama 1 tahun. Kemudian hasil penjualan dibagi secara merata antara 2 orang yang berkongsi.
b.      Harta mubah ialah sesuatu yang asalnya bukan milik seseorang. Misalnya binatang buruan, ikan yang didapat dengan cara memancing.
Tiap-tiap manusia boleh memiliki harta mubah sesuai dengan kesanggupannya, orang yang mengambilnya akan menjadi pemiliknya.
c.       Harta mahjur ialah : sesuatu yang tidak dibolehkan dimiliki sendiri dan memberikan kepada orang lain menurut syari’at, adakalanya benda itu berupa wakaf ataupun benda yang di khususkan untuk masyarakat umum. Misalnya jalan raya, masjid, dll.
8.      Harta yang dapat dibagi dan harta yang tidak dapat dibagi
a.       Harta yang dapat dibagi ialah harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta itu dibagi. Misalnya beras, air, tepung, dll.
b.      Harta yang tidak dapat dibagi ialah harta yang menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi. Misalnya mobil, motor, kursi.
9.      Harta pokok dan harta hasil
a.       Harta pokok ialah harta yang mungkin darinya terjadi harta yang lain.
b.      Harta hasil ialah harta yang terjadi dari harta yang lain.
Harta pokok dapat disebut juga sebagai modal misalnya, uang, emas. Sedangkan contoh harta pokok dan harta hasil ialah binatang yang beranak. Maka binatang itu disebut sebagai harta pokok, sedangkan anak nya disebut sebagai harta hasil.
10.  Harta khas dan harta ‘am
a.       Harta khas ialah harta pribadi, tidak bersekutu dengan yang lain, tidak boleh diambil manfaatnya tanpa izin pemiliknya. Misalnya rumah.
b.      Harta ‘am ialah harta milik umum (bersama) yang boleh diambil manfaatnya. Misalnya jalan raya.[7]
E.     Fungsi harta
Harta dipelihara manusia karena manusia membutuhkan manfaat harta tersebut. Fungsi harta amat banyak, baik kegunaan dalam hal yang baik maupun kegunaan dalam hal yang jelek. Diantara sekian banyak fungsi harta antara lain :[8]
1.      Berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah), sebab untuk ibadah diperlukan alat-alat seperti kain untuk menutup aurat dalam pelaksaan salat, bekal untuk pelaksaa ibadah haji, berzakat, shadaqah, dll.
2.      Untuk meningkatkan keimanan kepada Allah SWT, sebab kefakiran cenderung mendekatkan diri kepada kekufuran sehingga pemilikan harta dimaksudkan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.
3.      Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode berikutnya, firman allah dalam surat An-Nisa ayat 9 :
|·÷uø9ur šúïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz Zp­ƒÍhèŒ $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøŠn=tæ (#qà)­Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´ƒÏy ÇÒÈ  
Artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.
4.      Untuk menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat. Nabi bersabda yang artinya : bukanlah orang yang baik meninggalkan masalah dunia untuk masalah akhirat. Dan yag meninggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, sehingga seimbang antara keduanya. Karena masalah dunia adalah menyampaikan manusia kepada masalah akhirat. (HR. Bukhari)
5.      Untuk mengembangkan dan menegaskan ilmu-ilmu, akrena menuntut ilmu tanpa modal akan terasa sulit. Misalnya seseorang tidak bisa kuliah bila tidak memiliki biaya
6.      Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan tuan. Adanya orang kaya dan orang miskin yang saling membutuhkan sehingga tersusunlah masyarakat yang harmonis dan berkecukupan.
7.      Untuk menumbuhkan silaturrahim, karena adanya perbedaa dan keperluan. Misalnya dalam jual beli akan menumbulkan interaksi dan komunikasi silaturrahim dalam rangka saling mencukupi kebutuhan. Oleh karena itu perputaran harta dianjurkan Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 7 :
  
Artinya : Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.


BAB III
A.    Kesimpulan
Pada penghujung uraian kiranya kita perlu memberikan kesimpulan bahwa Al-Qur’an sangat mengakui dan menghormati keberadaan dan urgensi harta bagi kehidupan manusia. Al-Qur’an mengisyaratkan keharusan etos kerja positif, agar manusia dapat menggali semua potensi kekayaan yang telah disediakan Allah dan dapat mengolah serta mengembangkannya sehingga menjadi harta yang berguna untuk memenuhi keperluan hidup, baik yang bersifat individual maupun social. Al-Qur’an juga menggariskan bahwa pencarian dan pemanfaatan harta itu tidak pernah lepas dari nilai-nilai moral yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasulnya. Akhirnya, harta yang dianugerahkan kepada manusia itu tidak hanya sekedar untuk dapat bertahan hidup, melainkan terfokus pada tujuan untuk beribadah kepada pemilik mutlak, yaitu ALLAH SWT.
B.     Penutup
Demikian makalah yang kami buat semoga dapat menjadi bahan pembelajaran serta acuan untuk makalah selanjutnya. Kami sepenuhnya menyadari kekurangan dari makalah kami, dengan penuh kerendahan hati, kami meminta  saran dan kritik yang bersifat membangun guna memperbaiki makalah kami selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abudin. Kajian Tematik Al-Qur’an tentang kemasyarakatan. Bandung : Angkasa. 2008.
Mujibatun, Siti. Pengantar Fiqh Muamalah. Semarang : eLSa. 2012.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta : Rajawali. 2010.


[1] Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah. Jakarta : Rajawali. 2010. hlm. 9-10

[2] Ibid hal 10-11
[3] Ibid hlm. 11-12
[4] Siti Mujibatun. Pengantar Fiqh Muamalah. Semarang : eLSa. 2012. Hlm. 34
[5] Ibid hlm. 35-36
[6] Ibid Hlm. 36-38
[7] Ibid hlm. 38-55
[8] Abudin Nata,. Kajian Tematik Al-Qur’an tentang kemasyarakatan. Bandung : Angkasa. 2008. Hlm. 227-231