WHAT'S NEW?
Loading...

MAKALAH QAWAID FIQIYYAH TENTANG KAIDAH HUKUM ASAL SEGALA SESUATU, MADLARAT DAN MASLAHAH



KAIDAH TENTANG HUKUM ASAL SEGALA SESUATU, MADLARAT DAN MASLAHAH
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Qowaid Fiqqiyah
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Abdul Hadi, MA


Di Susun Oleh :
Hafidz Cahya Adi Putra         122211002


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih spesifik menjadi beberapa kelompok, juga merupakan pedoman yang memudahkan penyimpulan hukum bagi suatu masalah, yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dibawah satu kaidah.

Berhubung hukum fiqih lapangannya luas, meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan khaliknya, dan hubungan manusia dengan sesama manusia. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi tertentu, maka mengetahui kaidah-kaidah yang juga berfungsi sebagai pedoman berfikir dalam menentukan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya, adalah perlu sekali.

Maka, dalam makalah ini akan kami bahas mengenai kaidah tentang hokum asal segala sesuatu, kaidah tentang madlarat, dan kaidah tentang maslahah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Kaidah Tentang Hukum Asal Segala Sesuatu ?
2.      Apa Kaidah Tentang Madlarat  ?
3.      Apa Kaidah Tentang Maslahah ?







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kaidah Tentang Hukum Asal Segala Sesuatu
  اْلأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى  مَا كَانَ وَالْيَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ  
Hukum Asal Segala Sesuatu Adalah Tetap Dalam Keadaannya Semula, Dan Keyakinan Tidak Bisa Hilang Karena Keraguan       
Kaidah yang agung ini telah ditunjukkan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu hadits shahîh. Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengadukan keadaan yang dirasakannya sewaktu shalat. Laki-laki itu merasakan sesuatu di perutnya seolah-olah telah berhadats, sehingga ia ragu-ragu apakah telah berhadats ataukah belum. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:
رِيْحًا يَجِدَ أَوْ ,صَوْتًا يَسْمَعَ حَتَّى يَنْصَرِفْ لاَ
Janganlah keluar dari shalat sehingga engkau mendengar suara atau mendapatkan baunya.[1]

Yaitu, janganlah ia keluar (berhenti-red) dari shalatnya disebabkan apa yang ia rasakan di perutnya tersebut ; sampai benar-benar ia yakin telah berhadats.
Oleh karena itu, seseorang yang yakin terhadap suatu perkara tertentu, maka asalnya perkara yang diyakini tersebut tetap dalam keadaannya semula. Dan perkara yang diyakini tersebut tidaklah bisa dihilangkan hanya sekedar karena keragu-raguan.
Adapun penerapan kaidah yang mulia ini dapat diketahui dari contoh-contoh berikut :
1.      Seseorang yang yakin bahwa dirinya dalam keadaan suci (tidak berhadats) kemudian muncul dalam benaknya keraguan apakah ia telah berhadats ataukah belum, maka asalnya ia masih dalam keadaaan suci, sampai ia yakin bahwa ia memang telah berhadats. Demikian pula, seseorang yang yakin bahwa ia dalam keadaan berhadats kemudian ragu-ragu apakah ia sudah bersuci ataukah belum maka asalnya ia tetap dalam keadaan berhadats.
2.      Seseorang yang ragu-ragu terhadap air yang ada dalam suatu wadah, apakah air tersebut masih suci ataukah tidak, maka ia mengembalikan pada hukum asalnya, yaitu hukum asal air adalah suci (tidak najis), sampai muncul keyakinan bahwa air tersebut memang telah berubah menjadi tidak suci lagi karena terkena najis.
Demikian pula, hukum asal segala sesuatu adalah suci. Maka kapan saja seseorang ragu-ragu tentang kesucian air, baju, tempat, bejana, atau selainya maka ia menghukuminya dengan hukum asal tersebut, yaitu asalnya suci. Oleh karena itu, jika seseorang terkena air dari suatu saluran air, atau menginjak suatu benda basah, padahal ia tidak mengetahui apakah benda tersebut suci ataukah tidak, maka asalnya benda tersebut adalah suci (tidak najis).
3.      Apabila seseorang ragu-ragu tentang jumlah rekaat dalam shalatnya, apakah sudah dua raka'at ataukah tiga raka'at, maka ia berpedoman pada keyakinannya, yaitu ia mengembalikan kepada jumlah raka'at yang lebih sedikit, kemudian ia melakukan sujud sahwi di akhir shalat.
4.      Seseorang yang sedang melaksanakan thawaf di Baitullâh, jika ia menemui keraguan tentang jumlah putaran yang telah ia lakukan, maka ia menentukan sesuai yang ia yakini, yaitu ia kembali pada jumlah yang paling sedikit. Demikian pula seseorang yang ragu-ragu ketika melaksanakan sa'i.
5.      Seseorang yang ragu-ragu tentang jumlah basuhan ketika berwudhu, mandi wajib atau selainnya, maka ia berpedoman kepada keyakinan sebelumnya, yaitu kembali pada jumlah basuhan yang terkecil.
6.      Seorang suami yang ragu-ragu, apakah telah mentalaq isterinya ataukah belum, maka asalnya ia belum mentalaq isterinya. Dikarenakan hubungan suami isteri sejak semula telah terjalin dengan keyakinan, maka hubungan tersebut tidaklah terputus hanya sekedar karena keraguan.
7.      Seorang suami yang ragu-ragu tentang jumlah talaq yang telah ia ucapkan kepada isterinya, maka ia mengambil jumlah yang paling sedikit.
8.      Apabila seseorang mempunyai tanggungan untuk mengqadhâ' shalat yang ditinggalkannya karena udzur, kemudian ia ragu-ragu tentang berapa jumlah shalat yang ditinggalkannya, maka ia melaksanakan shalat sehingga muncul keyakinan bahwa tanggungannya telah ditunaikan. Hal ini karena kewajiban mengqadhâ' shalat telah tetap atasnya, sehingga kewajiban itu tidaklah lepas dari tanggungannya kecuali dengan keyakinan. Demikian pula jika ia mempunyai kewajiban untuk mengqadhâ' puasa.
9.      Apabila seorang wanita ragu-ragu apakah ia telah keluar dari masa iddahnya ataukah belum, maka asalnya ia masih tetap dalam masa iddah.
10.  Jika timbul keraguan tentang jumlah susuan yang mengkonsekuensikan hubungan mahram antara anak susuan dengan ibu susuannya, apakah sudah lima kali susuan ataukah belum, maka yang dijadikan patokan adalah jumlah yang terkecil, sampai muncul keyakinan bahwa jumlah susuan sudah mencapai lima kali.
11.  Jika seseorang melempar binatang buruan (dengan tombak, panah atau senjata lainnya) dengan menyebut nama Allah k terlebih dahulu, kemudian setelah beberapa waktu ia menemukan binatang itu mati terkena senjatanya, namun ia lalu ragu-ragu apakah binatang itu mati karena lemparan senjatanya ataukah karena sebab yang lain, maka asalnya binatang tersebut halal untuk dikonsumsi (bukan bangkai). Karena pada asalnya tidak ada sebab lain yang mengakibatkan kematian binatang tersebut, sebagaimana hal ini telah dijelaskan dalam hadits yang shahîh.[2]
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang kita ragukan keberadaannya, maka hal tersebut asalnya tidak ada. Dan segala sesuatu yang kita ragukan jumlahnya maka asalnya kita kembalikan pada bilangan yang terkecil.

B.     Kaidah Tentang Madlorot
الضرر يزا ل
“madlorot itu dapat dihapus.”
Dasar kaidah ,Kaidah ini bersumber dari sabda Rasullulah saw :
 لا ضرر ولا ضرار (رواه: احمد وابن ماجة عن ابي عباس)
Maksud hadis ini: berbuat madlorot kepada diri sendiri itu tidak boleh , demikian pula berbuat madlorot kepada orang lain.
Uraian kaidah tentang madlorot
1.      الضرورات تبيح المحظورات
“ madlorot itu tidak dapat memperbolehkan yang dilarang”
Tetapi apa yang diperbolehkan karena dlarurat itu harus diperkirakan kadar kedlaruratannya, jadi kalau dlaruratnya itu sekedar mempertahankan hidup, missal, seandainya makan sedikit saja sudah hilang dlaruratnya tersebut, maka diperbolehkannya makan makanan yang haram (kalau yang ada hanya itu !) haruslah sedikit saja, keuali apabila orang yang menderita dlarurat itu hendak berjalan jauh yang membutuhkan makan kenyang.
Tingkatan-tingkatan dlaruratnya. ada lima tingkatan yang kaitannya dengan kaidah ini :
a.       Dlarurat : keadaan seseorang yang apabila tidak segera mendapat pertolongan, maka diperkirakan ia bisa mati atau hampir mati.
b.      Hajat : keadaan seseorang yang dimana yang sekiranya tidak segera ditolong, menyebabkan kepayahannya, tetapi tidak sampai menyebabkan kematian.
c.       Manfa’at : suatu kebutuhan seperti kebutuhannya orang yang terpaksa hanya mampu makan ketela, padahal ia ingin bias makan nasi.
d.      Zienah : suatu kebutuhan seperti kebutuhannya orang yang terpaksa hanya makan nasi dengan lauk sederhana, padahal ia menginginkan lauk yang mewah.
e.       Fudlul : suatu kebutuhan sebagaimana kebutuhan orang yang bias makan dengan cukup tetapi ia masih ingin berlebih-lebihan, sehingga menyebabkan ia makan makanan haram atau syubhat.

2.      الضرر لايزال بالضرر
“suatu bahaya tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan bahaya lain.”
Maksud dari kaidah tersebut adalah suatu yang berbahaya tidak boleh dihilangkan dengan suatu nahaya lain setingkat kadar bahayanya, atau yang lebih besarkadar bahayanya. Oleh sebab itu, untuk menghilangkan suatu bahaya disyaratkan harus tidak menimbulkan bahaya lain, jika hal itu dimungkinkan, maka bahaya yang ditimbulkan harus diminimalisir sekecil mungkin.[3]
Misalnya : seseorang naik sepeda motor, didepannya ada dua orang sedang berjalan kaki. Tiba-tiba tanpa dapat dicegah lagi, sepeda montor sudah akan menubruk salah seorang dari pejalan kaki, maka untuk menghindarinya, pengendara sepada montor itu tidak boleh 3lantas membelokkan sepeda montornya kea rah pejalan kaki yang satunya lagi, sebab dengan demikian ini namanya menghindari bahaya dengan bahaya lain. Kecuali apabila bahaya yabg satu lebih besar daripada bhaya yang lain, maka berlaku kaidah :
اذااجتمع الضرران فعليكم با خفهما
“manakala berkumpul dua bahaya, maka ambillah yang lebih ringan.”
Missal: seperti contoh diatas tadi, pengendara motor boleh membelokkan sepeda motornya yang akan menubruk kerah seekor kambing, kaidah ini mirip dengan kaidah:
 “manakala dua masalah berkumpul maka ambillah yang lebih ringan dari padanya.”
Missal : seseorang sakit dan kata dokter harus dioperasi sedangkan operasi itu berbahaya. Orang tersbut dihadapkan kepada pilihan: sakit terus, ataukah sakit sementara (operasi). Yang lebih bahaya adalah sakit terus, karena itu ia harus memilih operasi.
3.      د رءالمفاسد مقدم على جلب المصالح
“menolak kerusakan itu didahulukan  dari pada menarik kebaikan.”
Missal : seorang muslim berkewajiban mendatangi salat jum’at. Disamping itu, ia juga berkewajiban menunggu isterinya yang sedang sakit keras, dimana tidak ada yang menunggu kecuali dia. Ia mesti mempertimbangkan : pergi salat jum’atan ia mendapatkan kebaikan, tetapi  isteri tidak ada yang merawat, sedangkan jika ia menunggu isteri, maka isteri terhindar dari terlantar, namun ia tidak memperoleh pahala jum’atan. Berpegang pada kaidah ini, maka menunggu isteri lebih di utamakan daripada mendatangi salat jum’at.[4]
C.     Kaidah Tentang Maslahah
Maslahah berasal dari kata shalaha (صلح) dengan penambahan alif diawalnya yang secara arti kata berarti baik lawan dari kata buruk atau rusak. Maslahah dalah masdar dengan arti shalah yaitu manfaat atau terlepas darinya kerusakan. Adapun maslahah secara definitive antara lain dikemukakan oleh ai-Ghazali sebagai berikut:
المحافضة على مقصود  الشرع
Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum)
Adapun al-Khawarizmi mendefinisikan:
المحافضة على مقصود  الشرع بدفع المفاسد عن الخلق
Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hokum) dengan cara menghindari kerusakan dari manusia[5]
Dalam pandangan at-Tufi Bahasan lafaz maslahat berdasarkan wazan maf'alatun dari kata salah. Artinya, bentuk sesuatu dibuat sedemikian rupa sesuai dengan kegunaannya. Misalnya, pena dibuat sedemikian rupa agar dapat digunakan untuk menulis. Pedang dibikin sedemikian rupa sehingga bisa dipakai untuk memenggal. Sedangkan definisi maslahat adalah sarana yang menyebabkan adanya maslahat dan manfaat. Misalnya, perdagangan adalah sarana untuk mencapai keuntungan. Pengertian berdasarkan syari'at adalah sesuatu yang menjadi penyebab untuk sampai kepada maksud syar'i, baik berupa ibadat maupun adat. Kemudian, maslahat ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu perbuatan yang memang merupakan kehendak syari', yakni ibadat dan apa yang dimaksudkan untuk kemanfaatan semua umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti adat istiadat.[6]
Mengenai lapangan hukum mu'amalat dan yang sejenisnya, dalil yang diikuti adalah maslahat. Maslahat dan dalil-dalil syari'at lainnya, terkadang senada dan terkadang bertentangan. Jika senada, memang hal itu baik seperti senadanya antara nas, ijma' dan maslahat mengenai ketetapan hukum daruri yang berjumlah lima. Hukum-hukum kulli yang daruri itu ialah dibunuhnya orang yang membunuh, dibunuhnya orang yang murtad, pencuri dipotong tangannya, peminum dihukum dera dan orang yang menuduh orang baik berbuat zina harus dijatuhi hukuman hadd, dan contoh-contoh lain yang serupa dalam hal dalil-dalil syari'at senada dengan maslahat. Jika ternyata tidak senada dan bertentangan, jika ada kemungkinan dipadukan harus dilakukan perpaduan antara nas, ijma' dan maslahat. Misalnya, jika terdapat sebagian dalil yang mempunyai kemiripan dengan maslahat, lakukanlah antara dalil dan maslahat itu sesuatu pemaduan. Syaratnya, tidak boleh mempermainkan dalil, dan maslahat yang dituju harus benar-benar hakiki. Jika ternyata di antara keduanya tidak bisa dipadukan, yang didahulukan adalah maslahat atas dalil-dalil syari'at lainnya. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, la darara wa la dirara. Makna hadis ini khusus dimaksudkan untuk menghilangkan mudarat untuk memelihara maslahat yang menjadi tujuan utama hukum syari'at, sehingga wajib didahulukan. Sedangkan dalil-dalil lainnya, tidak ubahnya sebagai sarana. Jadi, tujuan harus didahulukan daripada sarana.[7]
At-Tufi menurut yang dinukil Yusuf Hamid al-Alim dalam karyanya al-maqasid al-ammah li asy-syari’atil islamiyah mendefinisikan maslahah dengan
عبارة عن السبب المؤدي الى مقصود الشارع عبادة او عادة
Ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam bentuk ibadat atu adat.[8]
At-Tufi menganggap bahwa maslahat hanya ada pada masalah-masalah yang berkaitan dengan mu'amalat dan yang sejenis - bukan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan ibadat atau yang serupa. Sebab, masalah ibadat hanya hak Syari'. Tidak mungkin seseorang mengetahui hakekat yang terkandung di dalam ibadat, baik kualitas maupun kuantitas, waktu atau tempat, kecuali hanya berdasarkan petujuk resmi Syari'. Kewajiban hamba hanyalah menjalankan apa saja yang telah diperintahkan oleh Tuhannya. Sebab, seseorang pembantu tidak akan dikatakan sebagai seorang yang taat jika tidak menjalankan perintah yang telah diucapkan oleh tuannya, atau mengerjakan apa saja yang sudah menjadi tugasnya. Demikian halnya dalam masalah ibadat. Karenanya, ketika para filosof telah mulai mempertuhankan akal, dan mulai menolak syari'at, Allah swt. amat murka terhadap mereka. Mereka tersesat jauh dari kebenaran. Bahkan mereka sangat menyesatkan. Berbeda halnya dengan kaum mukallaf, hak-hak mereka di dalam memutuskan hukum adalah perpaduan antara siyasah dan syari'ah yang sengaja oleh pencipta dicanangkan untuk maslahat umat manusia. Itulah yang menjadi ukuran berpikir mereka.
Kami tidak mengatakan bahwa syari'at lebih mengetahui maslahat-maslahat manusia karena dalil-dalilnya harus diambil dan diamalkan sesuai dengan pengertiannya.
Kami menetapkan bahwa maslahat adalah termasuk salah satu dalil syari'at, bahkan boleh dikatakan sebagai dalil terkuat dan teristimewa. Karenanya kami lebih mendahulukan maslahat. Bahkan dalam kaidah alternative muncul kaidah:
الابرة بالمقاصد لا بالالفاظ.
Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujahid didalam meng-istinbatkan hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqasid yang dikandungnya.[9]












BAB III
A.    Kesimpulan
Dalam kaidah asal segala seuatu dijelaskan bahwa segala sesuatu yang kita ragukan keberadaannya, maka hal tersebut asalnya tidak ada. Dan segala sesuatu yang kita ragukan jumlahnya maka asalnya kita kembalikan pada bilangan yang terkecil.
Dalam kaidah madlarat dijelaskan bahwa suatu yang berbahaya tidak boleh dihilangkan dengan suatu nahaya lain setingkat kadar bahayanya, atau yang lebih besarkadar bahayanya. Oleh sebab itu, untuk menghilangkan suatu bahaya disyaratkan harus tidak menimbulkan bahaya lain, jika hal itu dimungkinkan, maka bahaya yang ditimbulkan harus diminimalisir sekecil mungkin.
Dan yang terakhir, dalam kaidah maslahah sesuatu yang menjadi penyebab untuk sampai kepada maksud syar'i, baik berupa ibadat maupun adat. Yaitu dengan Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hokum) dengan cara menghindari kerusakan dari manusia.

B.     Penutup
Demikian makalah yang kami buat semoga dapat menjadi bahan pembelajaran serta acuan untuk makalah selanjutnya. Kami sepenuhnya menyadari kekurangan dari makalah kami, dengan penuh kerendahan hati, kami meminta  saran dan kritik yang bersifat membangun guna memperbaiki makalah kami selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA
Andiko. Toha, Ilmu Qowaid Fiqqiyah, (Yogyakarta: Teras, 2011)
Bisri. Adib,  Tarjamah Al Fara Idul Bahiyyah Risalah Qawaid Fiqh¸(kudus: Menara Kudus)
Drs. Totok Jumanto, MA dan Samsul munir, M.Ag. kamus ilmu ushul fikih. jakarta: amzah,
HR. Bukhâri dalam Kitab Al-Wudhû' Bab Lâ yatawaddha' min as-syak, No. 137. Muslim dalam
HR. Bukhâri dalam Kitab adz-Dzabâ-ih, Bab as-Shaidu idzâ ghâba 'anhu yaumaini…., No. 5484. Muslim dalam Kitab as-Shaid, Bab As-Shaid fî al-kilâbi al-mu'allamah, No. 1929 dari Adi bin Hâtim.
Kitab al-Haidh, Bab Al-wudhû' min luhûmi al-ibil, No. 361 dari Abdullâh bin Zaid-radhiyallâhu 'anhu
Munawir sjadzali. Islam negara dan civil society. Jakarta: paramadina, 2005
Najamuddin at Tufi. 1954. Syarh al-Hadis Arba'in an-Nawaiyah dalam Mustafa Zaid. al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islami wa Najmuddin at-Tufi.(Bagian Lampiran) Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi,
Yusdani. 2006. At tufi dan Teorinya tentang Maslahat. Artikel Internet. Tanggal 01 Januari 2010.




[1] HR. Bukhâri dalam Kitab Al-Wudhû' Bab Lâ yatawaddha' min as-syak, No. 137. Muslim dalam Kitab al-Haidh, Bab Al-wudhû' min luhûmi al-ibil, No. 361 dari Abdullâh bin Zaid-radhiyallâhu 'anhu
[2] HR. Bukhâri dalam Kitab adz-Dzabâ-ih, Bab as-Shaidu idzâ ghâba 'anhu yaumaini…., No. 5484. Muslim dalam Kitab as-Shaid, Bab As-Shaid fî al-kilâbi al-mu'allamah, No. 1929 dari Adi bin Hâtim.
[3] Andiko. Toha, Ilmu Qowaid Fiqqiyah, (Yogyakarta: Teras, 2011) hal 119
[4] Bisri. Adib,  Tarjamah Al Fara Idul Bahiyyah Risalah Qawaid Fiqh¸(kudus: Menara Kudus) hal  24
[5] Drs. Totok Jumanto, MA dan Samsul munir, M.Ag. kamus ilmu ushul fikih. jakarta: amzah, hal.200-201
[6] Najamuddin at Tufi. 1954. Syarh al-Hadis Arba'in an-Nawaiyah dalam Mustafa Zaid. al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islami wa Najmuddin at-Tufi.(Bagian Lampiran) Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, hal; 243 
[7] Yusdani. 2006. At tufi dan Teorinya tentang Maslahat. Artikel Internet. Tanggal 01 Januari 2010.
[8] Drs. Totok Jumanto, MA dan Samsul munir, M.Ag. kamus ilmu ushul fikih. jakarta: amzah, hal. 201
[9] Munawir sjadzali. Islam negara dan civil society. Jakarta: paramadina, 2005. Hal. 358
 

0 komentar:

Posting Komentar