MAKALAH
Had Zina
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Hadist Ahkam Pidana dan Politik
Dosen
Pengampu : Prof. Dr. Abdul Fatah Idris, M.Si.
Disusun
Oleh :
Hafidz
Cahya Adiputra (122211002)
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Agama Islam adalah suatu sistem nilai yang paling
mapan dalam sejarah agama di dunia. Dalam menjalani kandungan ajaran tersebut
maka Allah SWT telah menjanjikan dua hal sebagai balasan atas apapun yang
menjadi tindakan umat manusia. Pahala (balasan baik) adalah bagi mereka yang
beramal shalih. Dan dosa (balasan buruk) akan berbuah siksa bagi mereka yang
melakukan tindak kemaksiatan. Kedua konsekuensi tersebut adalah bukti bagi
ke-Maha Adilan Allah SWT .
Zina dinyatakan oleh agama sebagai
perbuatan melanggar hokum yang tentu saja dan sudah seharusnya diberi hukuman
maksimal, mengingat akibat yang ditimbulkannya sangatlah buruk, lagi pula mengundang kejahatan, dan dosa.
Hubungan bebas (free sex) dan segala bentuk hubungan kelamin lainnya di luar
ketentuan agama adalah perbuatan yang membahayakan dan mengancam keutuhan
masayarakat, disamping sebagai perbuatan
yang sangat nista.
Bahwasanya, telah kita ketahui
perbuatan zina dan segala macam peralatannya telah merusak jiwa dan penghuni
kehidupan sosial didunia ini, sebagai umat islam yang tahu akan keberadaan
sosial dan keutuhan keagamaan bertanggung jawab atas apa yang terjadi didunia
ini, hukum islam bersangkutan musti harus diterapkan. Dan inilah kiranya yang
melatar belakangi penyusunan makalah ini.
B.
Rumusan masalah
1.
Pengertian Had
2.
Pengertian Zina
3.
Dalil-dalil Al
Sunnah tentang bentuk-bentuk perzinaan
4.
Perbandingan Perzinaan
dalam hukum pidana islam dan hukum positif
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Had
Had (jamak dari hudud) adalah :
الْحُدُوْدِ جَمْعُ حَدٍّ وَهُوَ لُغَةً اَلْمَنْعُ وَسُمِّيَتِ
الْحُدُوْدُ بِذَلِكَ لِمَنْعِهَا مِنِ ارْتِكَابِ الْفَوَاحِشِ.
Artinya : Hudud itu jamak dari Had yang artinya secara bahasa
“mencegah” dan itu dinamakan hudud karena mencegah dari beberapa perbuatan
tercela.[1]
Sedangkan dalam Subulus Salam Kata
hudud adalah bentuk jamak dari kata “had” yang artinya sesuatu yang menghalangi
dan mencegah bercampurnya dua hal. Sedangkan hukuman-hukuman yang dilaksanakan
disebut had. Karena berfungsi untuk mencegah agar perbuatan yang salah itu
tidak terulang lagi. Had juga diartikan dengan ukuran-ukuran. Ketentuan
hukum-hukum tersebut bersumber dari syariat islam. Dan had juga dinisbatkan
kepada pelaku maksiat.[2]
Seperti firman Allah :
ßy7ù=Ï? ßrßãn
«!$#
xsù
$ydrßtG÷ès? 4 `tBur £yètGt yrßãn
«!$#
y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd
tbqãKÎ=»©à9$#
ÇËËÒÈ
Artinya : Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah
kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah
orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah : 229).
`tBur £yètGt yrßãn «!$# ôs)sù zNn=sß ¼çm|¡øÿtR 4
Artinya : Itulah hukum-hukum Allah, Maka
Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
B.
Pengertian Zina
Zina adalah perbuatan bersanggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh
hubungan pernikahan (perkawinan).[3]
Secara umum, zina bukan hanya di saat manusia telah melakukan hubungan seksual, tapi segala
aktivitas-aktivitas seksual yang dapat merusak kehormatan manusia termasuk
dikategorikan zina.[4]
Zina merupakan perbuatan yang keji sehingga Allah melarang
umat manusia untuk mendekatinya, seperti firman Allah SWT berikut. “Dan janganlah
kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
dan suatu jalan yang buruk.”
Zina
dibagi menjadi 2 yaitu :
1.
Zina Muhsan
(sudah menikah)
Zina muhsan adalah zina yang dilakukan oleh seorang laki-laki
dengan seorang perempuan yang sudah menikah atau pernah menikah (Janda/Duda).
Had bagi pelaku zina muhsan lebih berat daripada zina ghoiru muhsan. Yaitu
hukuman rajam.
Ubadah ibn samit ra. Menerangkan :
قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صم : خُذُوْا عَنِّي, خُذُوْا عَنِّي. قَدْ
جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيْلً. اْلبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِاعَةٍ وَنَفْيُ
سَنَةٍ. وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِاعَةٍ وَالرَّجَمُ.
Artinya : Rasulullah SAW bersabda : “Ambillah dariku, ambillah
dariku, sesungguhnya Allah telah membuka jalan bagi perempuan-perempuan itu.
Perawan dengan perawan, dicambuk 100 kali dan diusir dari kampung selama 1
tahun. Dan mereka yang sudah menikah dengan yang sudah menikah, dicambuk 100
kali dan dirajam”. (HR. Al-Jamaah, selain Al-Bukhari dan An-Nasa’i; Al-Muntaqa
2 : 705)
Penjelasan : bahwa jalan yang dijanjikan (ketetapan) Allah dalam
Al-Qur’an terhadap pezina adalah 100 kali cambukan, pengusiran selama 1 tahun
kepada yang bikir (perawan/perjaka) dan rajam terhadap pezina muhsan (sudah
menikah).
Kemudian hadist di atas dikuatkan lagi oleh Jabir ibn Abdullah yang
menerangkan :
أَنَّ رَجُلاً زَنَى باِمْرَاَةٍ. فَأَمَرَبِهِ النَّبِيُّ, فَجُلِدَ
الْحَدَّ, ثُمَّ أُخْبِرَ أَنَّهُ مُحْصَنٌ, فَاَمَرَبِهِ فُرْجِمَ.
Artinya : bahwasanya seorang laki-laki berzina dengan seorang
perempuan. Nabi memerintahkan agar laki-laki itu dicambuk, dan dicambuklah dia.
Kemudian kepada Nabi diberitahukan bahwa laki-laki itu sudah muhsan, maka Nabi
memerintahkan agar dia dirajam, maka dirajamlah dia. (HR. Abu Daud ; Al-muntaqa
2 : 706)
Penjelasan : menurut ahli hadist, sanad nya tidak cacat oleh Abu
Daud dan Al-Mundziri, dan hadist ini dapat digunakan sebagai hujjah. Hadist ini
diriwayatkan juga oleh An-Nasa’i. Hadist ini menyatakan bahwa sebelum Nabi
mengetahui seseorang itu sudah muhsan, dia dicambuk 100 kali. Kemudian
hukumannya menjadi rajam, setelah diketahui dia sudah muhsan.[5]
2.
Zina Ghoiru
Muhsan (perawan/perjaka)
Zina ghoiru muhsan adalah zina yang dilakukan oleh seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang belum pernah menikah. Meskipun sebelumnya
pernah berzina, dalam kaitan ini masih dianggap perjaka atau perawan.
Abu Hurairah ra. Menerangkan :
أنَّ النَّبِيَّ صم قَضَي فِيمَنْ زَنَي وَلَم ىُحْصِنْ بِنَفِي عاَمٍ
وَإِقاَمَةِ اْلحَدِّ عَلَيْهِ .
Artinya : bahwasanya Rasulullah menetapkan bahwa terhadap seorang
pezina yang belum muhsan, agar dia diusir selama 1 tahun dan dikenakan hukum
had atasnya. (HR. Ahmad dan Al-Bukhari; Al-Muntaqa 2 : 705)
Penjelasan : bahwa pezina yang belum muhsan dicambuk 100 kali dan
diusir selama 1 tahun dari kampungnya, sedangkan pezina yang mushan dirajam.
Yang kemudian hadist tersebut dikuatkan oleh Abu hurairah ra. Dan
Zaid ibn Khalid ra. Menerangkan :
إِنَّ رَجُلاً مِنَّ الْأَعْرَابِ اَتَى رَسُوْلَ اللهِ صم, فَقَالَ :
يَارَسَوْلَ اللهِ, أُنْشِدُكَ اللهَ الاَّ قَضَيْتَ لِي بِكِتَابِ اللهِ ,
وَقَالَ الْخَصْمُ الْاَخَرُ – وَهُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ – نَعَمْ, فَاقْضِ
بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللهِ وَائْذَنِ لِي. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صم : قُلْ قَالَ
: اِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيْفًا عَلَي هَذَا, فَزْنَى بِأَمْرَأَتِهِ, وَإِنِّي
أُخْبِرْتُ أَنَّ عَلَى ابْنِي الرَّجْمِ, وَافْتَدَىْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ
وَوَلِىْدَةٍ, فَسَأَلْتُ اَهْلَ الْعِلْمِ, فَأَخْبَرُوْنِي أَنَّ عَلَي ابْنِي
جَالْدَ مِائَةٍ وَتَغْرِيْبَ عَامٍ, وَاَنَّ عَلَي امْرَأَةٍ هَذَا الرَّجْمِ.
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صم : وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَقْضِيَنَّ
بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللهِ : الْوَلِيْدَةُ وَالْغَنَمُ رَدُّ. وَعَلَي ابْنِكَ
جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيْبُ عَامٍ, وَاغْدُ يَاأُنَيْسُ – لِرَجُلٍ مِنْ أسْلَمَ
– اِلَي امْرَأَةِ هَذَا, فَاِنَّ اِعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا قَالَ : فَغَدَا
عَلَيْهَا, فَاعْتَرَفَتْ : فَأَمَرَبِهَا رَسُوْلُ اللهِ صم فُرْجِمَتْ.
Artinya : seorang laki-laki arab padang pasir menemui Rasulullah
SAW, dan berkata : “ya Rasulullah, aku bermohon kepada anda dengan nama Allah,
agar anda memutuskan hukum terhadapku berdasarkan ketetapan Allah”. Seorang
lawannya yang lebih lancar bicaranya, berkata : “benar, putuskanlah perkara di
antara kami dengan ketetapan Allah, dan izinkanlah saya berbicara”. Maka
Rasulullah berkata : “bicaralah”. Dia berkata : “sesungguhnya anakku bekerja
sebagai orang upahan pada orang ini. Dia berzina dengan istri orang ini, dan
mengabarkan bahwa anakku harus dirajam, namun aku tebus hukuman itu dengan 100
ekor biri-biri dan membebaskan seorang budak. Saya menanyakan kepada orang
alim, dan mereka mengatakan bahwa hukuman terhadap anakku adalah 100 kali jilid
(cambukan), dan mengusirnya dari kampung selama 1 tahun, dan terhadap istri
orang ini, hukuman rajam”. Rasulullah bersabda : “demi Allah, yang diriku
ditangannya, aku akan memutuskan perkara ini dengan ketetapan Allah. Budak dan
kambing dikembalikan kepada engkau, dan anakmu dicambuk 100 kali dan diusir
dari kampung selama 1 tahun. Pergilah hai unais (seorang laki-laki dari bani
Aslam) kepada istri orang ini. Jika dia mengaku, rajamlah dia. Unais menjumpai
perempuan itu dan dia mengaku. Rasulullah memerintahkan agar perempuan itu
dirajam dan dilaksanakanlah perintah itu”. (HR. Al-Jamaah; Al-Muntaqa 2 : 705)
Penjelasan : bahwa pezina yang belum muhsan dicambuk 100 kali dan
diusir selama 1 tahun dari kampungnya, sedangkan pezina yang mushan dirajam.
Serta pengakuan cukup skali diikrarkan, tak perlu diulang sampai 4 kali.[6]
C.
Dalil-dalil Al
Sunnah tentang bentuk-bentuk perzinaan
1.
Zina dengan
binatang
Zina yang dilakukan oleh manusia dengan hewan sebagai pelampiasan
nafsu syahwat atau seseorang itu memiliki kelaian jiwa. Para ulama berbeda
pendapat dalam membahas masalah ini. Sebagai berikut :
Ibnu ‘abbas ra. Menerangkan :
أَنَّ النَّبِيَّ صم قَالَ مَنْ
وَقَعَ عَلَي بَهِمَةٍ فَاقْتُلُوْهُ وَاقْتُلُوْا البَهِمَةَ.
Artinya : Nabi SAW bersabda :
“barangsiapa yang menyetubuhi binatang, maka bunuhlah dia dan bunuhlah binatang
itu”. (HR. Ahmad, Abu Daus, At-Turmudzi, Al-Muntaqa 2 : 719)
Penjelasan : hadist ini diriwayatkan
juga oleh Ibnu majah dan An-Nasa’i. Menurut At-Turmudzi, hadist ini gharib.
Hadist ini menyatakan bahwa mereka yang menyetubuhi binatang, dibunuh bersama
binatang tersebut. Para ulama berbeda pendapat tentang hukuman terhadap mereka
yang menyetubuhi binatang. Menurut Asy-Syafi’i dijatuhkan hukuman had, demikian
juga pendapat hadawiyah dan Abu yusuf. Sedangkan Abu hanifah, imam malik dan
Asy-Syafi’i dalam perdapat yang lain, dihukum takzir saja.
Mengenai binatang yang disetubuhi
itu ada yang mengharamkan dagingnya dan hewan itu harus disembelih. Demikian
pendapat Ali dan Asy-Syafi’i dalam sebuah riwayat. Menurut golongan malikiyah,
Asy-Syafi’i dalam pendapatnya yang lain, Abu Hanifah dan Abu Yusuf hukum
memakan dagingnya adalah makruh. Sedangkan menurut Al-Bahar binatang yang
disetubuhi itu harus disembelih walaupun dagingnya bukan daging yang dimakan.
Hadist ini tidak dapat dijadikan
hujjah dalam menetapkan hukum bunuh terhadap mereka yang menyetubuhi binatang,
karena hadist ini Dhaif. Oleh karenanya, saya memandang kuat pendapat Abu
Hanifah yang menetapkan hukum takzir bagi mereka yang menyetubuhi binatang. [7]
2.
Zina sesama
jenis
Zina sesama jenis adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dengan
laki-laki (homoseks) atau perempuan dengan perempuan (lesbian). Para ulama
berbeda pendapat mengenai cara hukuman yang ditimpakan kepada pelaku zina ini.
Namun, mereka tetap sependapat bahwa pelaku zina ini dihukum mati meskipun dia
muhsan ataupun ghoiru muhsan.
Ibnu
‘abbas ra. Menerangkan :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صم : مَنْ
وَجَدُّ تُمُوْهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوْطٍ فَاقْتُلُوْا الْفَاعِلَ
وَالْمَفْعُوْلَ بِهِ.
Artinya : Rasulullah SAW bersabda :
“bila kamu menemukan orang yang mengadakan hubungan sejenis (perbuatan kaum
luth), maka bunuhlah yang mengerjakannya serta pasangannya ”. (HR. Ahmad,
At-Turmudzi, dan Ibnu Majah; Al-Muntaqa
2 : 717)
Penjelasan : diriwayatkan juga oleh
Al-Hakim dan Al-baihaqi. Menurut Al-Hafizh, para perawinya dapat dipercaya.
Namun ada perbedaan pendapat tentang hadist ini. Hadist ini menyatakan bahwa
pasangan yang mengadakan hubungan sejenis (lesbian,homoseks) keduanya dapat
dihukum mati.
Diterangkan oleh Ibnu Thalla’ dalam
ahkamnya bahwa tak ada hadist yang shahih yang menetapkan bahwa mereka yang mengadakan
hubungan sejenis (liwath) dihukum mati.
Asy-Syafi’i berpegang kepada hadist
yang menetapkan hukuman mati terhadap si peliwath baik dia muhsan ataupun
bukan.
Para ulama berbeda pendapat tentang
hukuman yang dijatuhkan kepada si peliwath walaupun mereka sepakat bahwa liwath
adalah suatu dosa besar.
Sebagian ulama menjatuhkan hukuman
mati terhadap si peliwath, baik dia muhsan ataupun bikr. Tentang cara
pelaksanaan hukuman, ada yang dipancung lehernya, kemudia dibakar. Demikian
menurut Abu Bakar. Ada yang diruntuhkan tembok ketubuhnya, ini pendapat umar
dan utsman. Ibnu Abbas menyuruh si peliwath dijatuhkan dari bangunan yang
tinggi.
Diterangkan oleh Al-Baghawy bahwa
Asy-Sya’bi, Ibnu Jarir, malik, Ahmad, dan Ishaq menetapkan bahwa si peliwath
dirajam. Jenis hukuman ini sama dengan pendapat Asy-Syafi’i. Namun dalam
pendapatnya yang lain, Asy-Syafi’i dan Abu hanifah menetapkan bahwa si peliwath
ditakzir.
Dengan hadist ini para ulama
berhujjah, bahwa mereka yang berzina dengan mahramnya atau melakukan hubungan
sejenis harus dibunuh dan hartanya disita.[8]
3. Zina dengan mahrom nya
Zina dengan mahromnya adalah zina
yang dilakukan oleh seseorang yang masih memiliki ikatan saudara. Contoh :
seorang anak mengawini ibu tirinya setelah sang ayah meninggal.
Al-Barra ibn Azib ra. Menerangkan :
لَقِيْتُ
خَالِي, وَمَعَهُ الرَّايَةُ, فَقُلْتُ : اَيْنَ تُرِيْدُ؟ فَقَالَ : بَعَثَنِي
رَسُوْلُ اللهِ صم اِلَي رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةَ أَبِيْهِ مِنْ بَعْدِهِ :
أَنْ أَضْرِبَ عُنَقَهُ, وَاَخِذَ مَالَهُ.
Artinya : saya bertemu dengan
saudara ibu yang sedang memegang panji. Saya bertanya : “hendak kemana anda?”
dia menjawab : “sayang disuruh Nabi menemui seorang laki-laki yang mengawini
istri ayahnya (ibu tirinya) sesudah sang ayah meninggal. Aku disuruh memacung
lehernya dan mengambil hartanya”. (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Turmudzi dan Ibnu
Majah; Al-Muntaqa 2 : 717).
Penjelasan : menurut At-turmudzi
hadist ini hasan. Sumbernya banyak dan para perawinya juga shahih. Hadist ini
menyatakan bahwa penguasa dapat menjatuhkan hukuman mati terhadap mereka yang
menentang syariat agama yang qath’i (seperti mengawini ibu tiri sesudah sang
ayah meninggal). Dan menyatakan hukum takzir dapat sampai kepada derajat
hukuman mati.[9]
4.
Zina
yang dilakukan oleh budak
Zina yang dilakukan oleh seorang
budak dengan budak atau budak dengan orang lain (bukan pemiliknya). Dalam hal
ini para ulama sependapat bahwa had bagi budak adalah setengah dari had orang
biasa yaitu 50 kali dera.
Ali ibn thalib ra. Menerangkan :
اَرْسَلَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صم اِلَي
أَمَةٍ لَهُ سَوْدَاءَ زَنَتْ, لِأَجْلِدَهَا الْحَدَّ. قَالَ : فَوَجَدْتُهَا فْي
دَمِهَا. فَأَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صم, فَأَخْبَرْتُهُ بِذَلِكَ, فَقَالَ لِي
اِذَاتَعَالَّتْ مِنْ نِفَاسِهَا فَاجْلِدْهَا خَمْسِيْنَ.
Artinya : Rasulullah SAW menyuruhku
menemui seorang budak hitam milik nabi untuk mencambuknya, karena dia berzina.
Aku menjumpai dalam keadaan bernifas (habis melahirkan). Aku kembali menemui
nabi dan menyampaikan hal itu. Nabi berkata : “apabila nifasnya berakhir,
cambuklah dia 50 kali”. (HR. Abdullah ibn Ahmad; Al-Muntaqa 2 : 719)
Penjelasan : hadist ini diriwayatkan
oleh Abdullah ibn Ahmad dalam Al-Musnad. Hadist ini dikuatkan oleh
tindakan Umar yang dilakukan didepan beberapa orang sahabat. Hadist ini
menyatakan bahwa bila yang berzina seorang budak perempuan dia dihukum dengan
50 kali cambukan.
Para ulama tidak membedakan antara
budak laki-laki dengan budak perempuan. Menurut Ibnu Abbas, budak laki-laki
tidak dikenakan hukuman terkecuali jika dia beristri. Pendapat Ibnu Abbas ini
disetujui oleh Thawus, Atha’ dan Ibnu Juraid. Jumhur ulama menyamakan budak
laki-laki dengan budak perempuan sehingga jika mereka dituduh berzina, apakah
mereka bersuami atau tidak. Mereka hanya dikenakan hukuman cambuk 50 kali. Hadist
ini dengan jelas menyatakan bahwa budak yang berzina hanya dihukum cambuk
sebanyak 50 kali.[10]
5. Penundaan hukuman terhadap orang
yang hamil dan sakit
Penundaan bagi wanita yang sedang
hamil sampai dia melahirkan dan setelah bayinya sudah di sapih. Maksudnya
disini ialah bayi tersebut sudah dapat makan-makanan yang keras. Sedangkan
penundaan had bagi orang sakit ialah sampai ia sehat. Hal ini diterangkan dalam
hadist dibawah ini :
Abdullah ibn Buraidah dari ayahnya
menerangkan :
جَاءَتْ
الغَمِدِيَّةُ, فَقَالَتْ يَارَسُوْلَ اللهِ, إِنِّي قَدْزَنَيْتَ فَطَهِّرْنِى,
وَاِنَّهُ رَدَّهَا, فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْغَدِ, قَالَتْ: يَارَسُوْلَ اللهِ,
لِمَ تَرْدُدْنِى؟ لَعَلَّكَ تَرْدُدْنِى كَمَا رَدَدْتَ مَاعِزًا, فَوَاللهِ
اِنِّى لَحُبْلَى. قَالَ إِمَّالَا, فَذْهَبِى حَتَّى تَلِدِى. فَلَمَّا وَلَدَتْ,
أَتَتْهُ بِالصَّبِّى فِى خِرْقَةٍ قَالَتْ : هَذَا قَدْ وَلَدْتُهُ. قَالَ
اذْهَبِى, فَأرْضِعِيِهِ, حَتَّى تَفْتِمِيْهِ, فَلَمَّا فَطَمْتُهُ أَتَتْهُ
بِالصَّبِّى فِى يَدِهِ كِسْرَةُ خُبْزٍ, فَقَالَتْ : هَذَا يَانَبِيَ اللهِ, قَدْ
فَطَمْتُهُ وَقَدْ أَكَلَ الطَّعَامَ. فَدَفَعَ الصَّبِيَّ اِلَى رَجُلٍ مِنَ
الْمُسْلِمِيْنَ, ثُمَّ اَمَرَبِهَا, فَحَفَرَ لَهَا اِلَى صَدْرِهَا,
وَأَمَرَالنَّاسَ فَرْجَمُوْهَا, فَيُقْبِلُ خَالِدُبْنُ الْوَلِيْدِ بِحَجَرٍ, فَرَمَى
رَأْسَهَا, فَنَضَحَ الدَّمَ عَلَى وَجْهِ خَالِدٍ, فَسَبَّهَا, فَسَمِعَ
النَّبِيُّ صم سَبَّهُ إِيَّاهَا فَقَالَ : مَهْلًا يَاخَالِدُ, فَوَالَّذِى
نَفْسِى بِيَدِهِ, لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْتَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ
لَغَفَرَلَهُ, ثُمَّ أَمَرَبِهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا وَدُفِنَتْ.
Artinya : Al-Ghamidiah datang
menemui Nabi SAW dan berkata : “Ya Rasulullah, saya telah berzina, mohon saya
disucikan”. Nabi menyuruh dia pulang. Keesokan harinya dia datang dan berkata :
“Ya Rasulullah, mengapa anda menyuruh saya pulang? Barangkali anda menyuruh
saya pulang seperti yang anda perintahkan kepada Ma’iz untuk pulang. Demi
Allah, saya telah hamil”. Nabi berkata : “jika engkau tidak menghendaki selain
dirajam, maka pulanglah dulu sampai engkau melahirkan”. Kemudia setelah
melahirkan, dia kembali menemui Rasulullah dengan juga membawa bayinya yang
dibungkus kain. Dia berkata : “saya telah melahirkan”. Nabi berkata :
“pulanglah dulu dan susuilah bayimu sampai saat dia disapih”. Maka selepas
menghentikan susuan kepada bayinya, dia datang lagi bersama bayinya dan
ditangan si bayi ada sepotong roti. Dia berkata : “Ya Nabiullah, bayi ini telah
aku sapih, dan dia telah makan makanan keras”. Maka Nabi menyerahkan bayi itu
kepada seorang muslim, dan memerintahkan agar Ghamidiah dirajam. Dibuatlah
lubang setinggi dada dan Nabi memerintahkan para sahabat untuk merajamnya.
Khalid ibn walid datang membawa sebuah batu dan melempar kepalanya, yang memancarkan
darah sehingga mengenai muka Khalid. Khalid memakinya. Nabi mendengar makian
Khalid. Nabi berkata : “pelan-pelanlah wahai Khalid. Demi Tuhan yang telah
membangkitkan aku, sesungguhnya dia telah bertaubat, dengan taubat yang jika
dilaksanakan taubat itu oleh para pengutip pajak masyarakat tanpa hak,
niscayalah diampuni dosanya. Kemudian Nabi memerintahkan agar dia dikeluarkan
dari lubang dan Nabi sholat untuk jenazahnya. Kemudian barulah dia dikuburkan”.
(HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Daud; Al-Muntaqa 2 : 713)
Penjelasan : hadist ini menyatakan
bahwa hukuman rajam terhadap perempuan hamil ditunda sampai dia melahirkan. Dan
setelah bayinya disapih. Sebagian tubuh perempuan yang dirajam itu dibenamkan
ke dalam lubang.[11]
D.
Perbandingan Perzinaan
dalam hukum islam dan hukum positif
Isi
rumusan tindak pidana zina dalam Pasal 284 KUHP adalah perzinaan yang dilakukan
oleh dua orang yang salah satu atau keduanya terikat perkawinan dan diadukan
oleh isteri atau suami pelaku zina dan dilakukakan atas dasar suka sama suka.
Hukumannya adalah maksimal sembilan bulan penjara. Untuk tindak pidana ini KUHP
menempatkannya sebagai tindak pidana aduan.
Perbandingan
hukum islam dengan pasal 284 KUHP
1.
Menurut
KUHP tidak semua pelaku zina diancam dengan hukuman pidana. Misalnya pasal 284
ayat 1 dan 2 menetapkan ancaman pidana penjara paling lama 9 bulan bagi pria
dan wanita yang melakukan zina, padahal seorang atau keduanya telah kawin, dan
dalam padal 27 KUH Perdata (BW) berlaku baginya. Ini bisa diartikan bahwa pria
dan wanita yang melakukan zina tersebut belum kawin, maka mereka tidak terkena
sanksi hukuman tersebut di atas. Tidak kena hukuman juga bagi keduanya asalkan
telah dewasa dan suka sama suka (tidak ada unsur paksaan) atau wanitanya belum
dewasa dapat dikenakan sanksi, hal ini diatur dalam KUHP pasal 285 dan 287 ayat
1. Sedangkan menurut hukum pidana islam, semua pelaku zina pria dan wanita
dapat dikenakan had, yaitu hukuman dera bagi yang belum kawin, misalnya
(dipukul dengan tongkat, sepatu, dan tangan). Dan dera ini tidak boleh
berakibat fatal bagi yang didera.
2.
Menurut
KUHP, perbuatan zina hanya dapat dituntut atas pengaduan suami/istri yang
tercemar (pasal 284 ayat 2), sedangkan Islam tidak memandang zina sebagai
klach delict (hanya bisa dituntut) atas pengaduan yang bersangkutan.
3.
Hukum
positif KUHP dalam menyikapi masalah perzinahan, ada berbagai variasi hukuman
(klasifikasi). Dengan penerapan hukuman yang berbeda-beda yang tertuang dalam
KUHP pasal 284 ayat 1dan 2, pasal 285, 286 dan 287 ayat 1. Sedangkan Islam menetapkan
hukuman dera jika pelaku zina yang belum kawin dan hukuman rajam jika telah
kawin.[12]
BAB III
A. KESIMPULAN
Zina adalah segala persetubuhan
diluar nikah. Meskipun dilakukan dengan binatang.
Perempuan dan laki-laki yang tidak
muhsan, misalnya perempuan yang tidak atau belum bersuami dan laki-laki yang belum beristri
dilakukan hukuman sebagi berikut dalam ayat, yaitu dipukul cambuk , atau dengan
rotan 100 kali, dihadapan khalayak ramai kaum muslim dan orang atau laki dan
perempuan terbentang. Orang-orang yang tidak patut berzina, karena hidupnya
berbenteng oleh pandangan masyarakat, sehingga pandangan umum sudah menggangap
dia tidak patut berbuat demikian. Yaitu kedua baligh, berakal, lagi merdeka dan
laki-lakinya beristri dan perempuannya ada bersuami dihubungkan keberatan dari
suaminya atau istrinya yang sah. Hukumannya ialah rajam, yaitu separuh badannya
dikubur dalam tanah lalu dilempari batu sampai mati.
B.
PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat
semoga dapat menjadi bahan pembelajaran serta acuan untuk makalah selanjutnya.
Kami sepenuhnya menyadari kekurangan dari makalah kami, dengan penuh kerendahan
hati, kami meminta saran dan kritik yang
bersifat membangun guna memperbaiki makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
An-Nawawi,
Imam. Syarah Shahih Muslim. Jakarta
Timur : Darus Sunnah. 2013.
Al-Amir
Ash-Shan’ani, Muhammad bin Ismail. Subulus
Salam. Jakarta Timur : Darus Sunnah. 2013.
Hasbi
Ash-Shiddieqy,Teungku Muhammad. Koleksi Hadits-hadits
Hukum. Jilid IV. Semarang : Pustaka Rizki Putra. 2011
Kamus
Besar Bahasa Indonesia
Muhammad
Ibn Qasim Al-Ghaza, Syaikh. Syarah fathul
Qarib Mujib. . .
Wikipedia.org
[1]
Syaikh Muhammad Ibn Qasim
Al-Ghaza. Syarah fathul Qarib Mujib. Hlm. 56
[2]
Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani. Subulus Salam (Jakarta : Darus
Sunnah, 2013) hlm. 312
[3]
Kamus Besar Bahasa Indonesia
[4]
Wikipedia.org
[5]
Hasbi Ash-Shiddieqy,Teungku Muhammad. Koleksi Hadits-hadits Hukum. Jilid IV.
Semarang : Pustaka Rizki Putra. 2011. Hlm. 356-359
[6]
An-Nawawi, Imam. Syarah Shahih Muslim. Jakarta Timur : Darus Sunnah. 2013. Hlm.
385-359
[7]
,Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy.
Koleksi Hadits-hadits Hukum. Jilid IV. Semarang : Pustaka Rizki Putra. 2011.
384-385
[8]
Ibid hal 355-356
[9]
Ibid hal 356
[10]
Ibid hal 386
[11]
Ibid hal 387
[12] Abdullah Ahmad An-Naim, Dekonstruksi Syari’ah, cet IV, (Yogyakarta: LKS, 2004), hlm. 179
0 komentar:
Posting Komentar