WHAT'S NEW?
Loading...

Makalah Hadits Ahkam Pidana dan Politik Tentang Korupsi



Makalah
KORUPSI
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Hadits Ahkam Pidana dan Politik
Dosen Pengampu: Prof. Abdul Fatah Idris, M.Ag




Disusun Oleh:
Hafidz Cahya Adi Putra         (122211002)

FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS  ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Dalam beberapa decade belakangan ini di indonesia sedang marak terjadi korupsi, baik dalam skala kecil sampai besar, ditingkat daerah maupun pusat, laki-laki maupun perempuan. Bahkan belakangan ini orang-orang yang dianggap memiliki latar belakang pendidikan tinggi dan integritas juga ikut terseret dalam “lingkaran setan” ini. Seperti dalam kasusu korupsi SKK Migas yang menyeret Rudi Rubiandini yang merupakan seorang guru besar di ITB, Tafsir Hamid dalam kasus korupsi proyek pembangunan dan instalasi teknologi informasi perpustakaan UI tahun anggaran 2010-2011 yang merupakan seorang guru besar FISIP UI. Hal ini semakin menunjukan bahwa korupsi sudah menggerogoti mental manusia Indonesia oleh karena itu korupsi harus diberantas dari akar sampai ujungnya.
Latar belakang pendidikan yang tinggi tidak dapat menjamin seseorang berakhlak baik, banyak orang pintar di negara ini, namun sedikit sekali orang yang mampu berbuat jujur. Sehingga dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa salah satu faktor terjadinya tindak pidana korupsi adalah kurangnya pendidikan akhlak dan moral (degradasi moral). Selain itu situasi penyelenggaran negara yang buruk juga mendorong terjadinya tindak pidana korupsi. Kalau kita lihat dari banyaknya kalangan akademisi yang terjerat korupsi, selain karena moral mereka yang mungkin tidak baik bisa juga karena lingkungan tempat mereka bekerja memang mendukung sekali untuk terjadinya tindak pidana korupsi.
Islam sebagai agama rahmatan lilalamin hadir sebagai problem solver untuk setiap permasalahan yang dihadapi manusia, baik dalam hubungan vertical kepada Tuhan maupun dalam hubungan horizontal dengan sesame manusia. Hukum islam menawarkan pemecahan solusi yang berbeda dengan ilmu lain pada umumnya, islam lebih menyasar kepada moral dan akhlak (preventif) dimana cara ini lebih efektif dalam menaggulangi maraknya tindak pidana korupsi. Karena ketika hati seseorang sudah terbentengi dengan akhlak islam, maka ketika seseorang hendak melakukan tindak pidana maka yang menjadi dasar pertimbangan seseorang tersebut untuk melakukan atau tidak melakukan bukanlah karena adanya sanksi atau hukum melainkan karena ada Allah yang senantiasa mengawasinya sepanjang waktu.
Hukum islam dapat digali dari Al-Qur’an atau As-Sunnah sebagai sumber utama hukum islam, maka dari itu untuk menggali hukum-hukum islam terkait tindak pidana korupsi perlu dilakukan ijtihad terhadap dalil-dalil al-Qur’an maupun hadits. Namun dalam makalah ini akan kami bahas khusus mengenai tinjauan tindak pidana korupsi dalam As-Sunnah. 
Dari rumusan masalah diatas maka dapat ditarik suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana kualifikasi tindak pidana korupsi dalam Islam berdasarkan As-Sunnah? Dan bagaimana sanksinya?
2.      Bagaimana relevansi antara tindak pidana korupsi dalam Islam dengan tipikor berdasarkan UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tipikor?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yakni Corruptio atau Corruptus. Arti harafiah dari kata korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, katidak jujuran, penyimpangan. Menurut Syeh Husen Alatas, mengatakan bahwa esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Sedangkan Baharuddin Lopa mendafinisikan korupsi sebagai the offering and accepting of briebs (penawaran/pemberian dan penerimaan hadiah-hadiah berupa suap).[1]
Dilihat dari modus operandinya bentuk-bentuk korupsi di Indonesia antara lain: suap-meyuap, pungutan liar, mark up (penggelembungan dana), kredit macet, penggelapan uang negara.[2] Arti korupsi mempunyai arti dan cakupan yang sangat luas. Namun dari semua arti korupsi secara bahasa maupun istilah kesemuanya mengarah kepada keburukan, ketidakbaikan, kecurangan, dan bahkan kedzaliman.
Unsure utama dalam tindak pidana korupsi adalah memperkaya diri sendiri secara melawan hukum dengan merlanggar hak-hak orang lain. Di indonesia peraturan mengenai tindak pidana korupsi diatur dalam UU No.21 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang mengubah UU No.31 Tahun 1999. 
B.     Kualifikasi Tindak Pidana Korupsi dalam Islam
Dalam sumber literature hukum Islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah) tidak ditemukan pengertian korupsi secara eksplisit, namun beberapa istilah yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits sudah mengisyaratkan dan mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi ini secara global. Diantaranya larangan saling memakan harta sesama secar batil, larangan tradisi suap menyuap yang tentu sangat berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Namun memang larangan-larangan tersebut masih sangat umum sehingga memerlukan penafsiran lebih lanjut.
Dari segi unsure-unsurnya terdapat beberapa jarimah dalam fikh jinayah yang mendekati terminology korupsi saat ini, beberapa jarimah tersebut antara lain: ghulul, risywah, dan khianat.
1.      Ghulul (penggelapan)
Secara etimologis kata ghulul berarti berkhianat terhadap harta rampasan perang. Mulanya ghulul hanya terbatas pada tindakan pengambilan, penggelapan atau berlaku curang dan khianat terhadap harta rampasan perang, akan tetapi dalam perkembangan pemikiran berikutnya ghulul juga berlaku terhadap harta secara umum, seperti harta baitul mal, harta milik bersama kaum muslimin, harta negara, harta zakat dan lain-lain.[3]
Dalam beberapa hadits nabi dapat diketahui beberapa peristiwa yang terkait dengan ghulul, diantaranya:
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى خَيْبَرَ فَفَتَحَ اللَّهُ عَلَيْنَا فَلَمْ نَغْنَمْ ذَهَبًا وَلَا وَرِقًا غَنِمْنَا الْمَتَاعَ وَالطَّعَامَ وَالثِّيَابَ ثُمَّ انْطَلَقْنَا إِلَى الْوَادِي وَمَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَبْدٌ لَهُ وَهَبَهُ لَهُ رَجُلٌ مِنْ جُذَامَ يُدْعَى رِفَاعَةَ بْنَ زَيْدٍ مِنْ بَنِي الضُّبَيْبِ فَلَمَّا نَزَلْنَا الْوَادِي قَامَ عَبْدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحُلُّ رَحْلَهُ فَرُمِيَ بِسَهْمٍ فَكَانَ فِيهِ حَتْفُهُ فَقُلْنَا هَنِيئًا لَهُ الشَّهَادَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلَّا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ إِنَّ الشَّمْلَةَ لَتَلْتَهِبُ عَلَيْهِ نَارًا أَخَذَهَا مِنَ الْغَنَائِمِ يَوْمَ خَيْبَرَ لَمْ تُصِبْهَا الْمَقَاسِمُ قَالَ فَفَزِعَ النَّاسُ فَجَاءَ رَجُلٌ بِشِرَاكٍ أَوْ شِرَاكَيْنِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَصَبْتُ يَوْمَ خَيْبَرَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شِرَاكٌ مِنْ نَارٍ أَوْ شِرَاكَانِ مِنْ نَارٍ
Diriwayatkan daripada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju ke Khaibar. Allah memberikan kemenangan kepada kami, tetapi kami tidak mendapatkan harta rampasan perang berupa emas atau perak. Kami hanya memperoleh barang-barang, makanan dan pakaian. Kemudian kami berangkat menuju ke sebuah lembah dan terdapat seorang hamba bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam milik beliau yang diberikan oleh seorang lelaki dari Judzam. Hamba itu bernama Rifa’ah bin Zaid dari Bani Ad-Dhubaib. Ketika kami menuruni lembah, hamba Rasulullah itu berdiri untuk melepaskan pelananya, tetapi dia terkena anak panah dan ternyata itulah saat kematiannya. Kami berkata: Ketenanganlah baginya dengan Syahid wahai Rasulullah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidak mungkin! Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, sesungguhnya sehelai baju yang diambilnya dari harta rampasan perang Khaibar, yang tidak dimasukkan dalam pembahagian akan menyalakan api Neraka ke atasnya. Abu Hurairah berkata: Maka terkejutlah orang-orang Islam. Lalu datanglah seorang lelaki dengan membawa seutas atau dua utas tali pelana, lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku mendapatkannya semasa perang Khaibar.
Lalu Rasulullah s.a.w bersabda: Seutas atau dua utas tali pelana itu dari Neraka. (HR. Abu Dawud)[4]
Hadits ini menceritakan kasus Mid’am, budak yang menggelapkan baju dan seseorang yang tidak diketahui namanya dan ternyata juga menggelapkan seutas atau dua utas tali pelana.
Sanksi bagi pelaku ghulul tampaknya lebih bersifat moral, walaupun didalam al-Qur’an tidak disebutkan teknis eksekusi dan jumlahnya, tetapi dalam hadits-hadits Nabi secara tegas disebutkan teknis dan jumlah sanksi terhadap ghulul. Hal inilah yang membedakan antara ghulul dengan jarimah kisas dan hudud sehingga ghulul masuk dalam kategori jarimah takzir.
Sanksi moral bagi pelaku ghulul berupa resiko akan mendapat siksaan Allah di akhirat kelak.[5] Bentuk sanksi moral lain adalah dengan tidak dishalatkanya jenazah pelaku ghulul atau korupsi sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Zaid Khalid al-Juhani: bahwa ada seorang sahabat Nabi meninggal waktu perang Khaibar dan hal ini sampai pada Rasulullah dan beliau menyuruh sahabat-sahabat yang lain untuk tidak menyolatkan jenazah karena ternyata ia telah menggelapkan harta rampasan perang yaitu Kharazan (intan/permata) yang harganya sekitar dua dirham.[6]
Dari dua bentuk sanksi ghulul tersebut bisa diketahui hukuman yang diberikan masih ringan karena kasus-kasus ghulul saat itu belum dianggap sebagai jarimah yang harus diberikan sanksi tegas. Hal ini sangat mungkin karena jumlah kerugian akibat tindakan ghulul ini masih kecil. Namun demikan sanksi moral tetap diberikan.
Kasus penggelapan terhadap mantel, tali pelana, atau perhiasan sebagaimana diterangkan pada hadits diatas, semuanya berkaitan dengan harta rampasan perang. Dalam kasus dan sumber-sumber yang lain, ghulul bukan hanya sebatas pada harta rampasan perang tetapi sudah pada sumber-sumber pendapatan lain seperti dari harta zakat. Sebagaimana hadits Nabi:
Dari Mu’az Ibn Jabal: ia berkata: Rasulullah mengutus saya ke Yaman ketika saya baru berangkat Nabi mengirim seseorang untuk memanggil saya kembali, lalu beliau berkta: apakah engkau tau mengapa saya mengirim orang untuk menyuruhmu kembali? Janganlah kamu mengambil sesuatu apapun tanpa izin saya, karena hal itu adalah ghulul, dan barang siapa melakukan ghulul, maka ia akan membawa barang yang digelapkanya/dikorupsi itu pada hari kiamat. Untuk itulah saya memanggilmu. Sekarang berangkatlah untuk tugasmu. (HR al-Tirmidzi).[7]
Atas dasar hadis ini, cakupan ghulul bukan hanya terbatas pada harta rampasan perang, melainkan sudah mencakup harta-harta lain seperti harta zakat dan jizyah.
2.      Risywah (Penyuapan)
Risywah secara etimologis berarti upah, hadiah, komisi, atau suap. Adapun secara terminologis risywah adalah sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarka yang batil dan menyalahkan yang benar. Dalam hal ini risywah dapat dikategorikan sebagai suatu cara untuk mendapatkan harta, kedudukan, jabatan dengan cara yang batil.[8]
Dalam kasus risywah setidaknya pasti akan melibatkan tiga unsure utama, yaitu pihak pemberi (الراش), pihak penerima pemberian tersebut (المرتشى) dan barang bentuk dan jenis pemberian yang diserahterimakan. Akan tetapi tidak ditutup kemungkina adanya pihak ketiga sebagai perantara.
Adapun beberapa hadits tentang risywah adalah sebagai berikut:
عن أبي هريرة قال : لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي في الحكم (رواه أحمدوأبودودوالترمذى)[9]
Artinya: dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah melaknat penyuap dan yang disuap dalam hukum (HR. Ahmd, Abu Dawud, Tirmidzi)
          Terkait dengan sanksi bagi para pelaku risywah (suap) termasuk dalam ranah jarimah takzir yang kompetensinya ada ditangan hakim karena tidak ada ketentuan tegas tentang jenis dan tata cara menjatuhkan sanksi bagi pelaku risywah baik dalam nash maupun hadits.
            Dalam beberapa hadits tentang risywah, memang disebutkan dengan pernyataan “لعن الله الرشى والمرتشى  atau dengan “لعنةالله على الراش والمرتشىAllah melaknat penyuap dan penerima suap, yang akibatnya risywah dikategorikan ke dalam dosa-dosa besar.
            Menurut al-Tariqi sanksi bagi pelaku risywah merupakan konskwensi dari sikap melawan hukum islam dan sebagai konsekwensi dari sikap menentang/bermaksiat kepada Allah. Oleh karena itu harus diberi sanksi tegas untuk menyelamatkan orang banyak dari akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana risywah ini, lebih-lebih budaya suap menyuap termasuk salah satu jenis kemungkaran yang harus dihapuskan.[10]
            Selain itu juga ada hadits lain yang menceritakan tentang peristiwa suap-menyuap yang terjadi pada seorang petugas amil zakat:
حَدِيثُ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنَ الْأَسْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ اللُّتْبِيَّةِ عَمْرٌو وَابْنُ أَبِي عُمَرَ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا لِي أُهْدِيَ لِي قَالَ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ مَا بَالُ عَامِلٍ أَبْعَثُهُ فَيَقُولُ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي أَفَلَا قَعَدَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ فِي بَيْتِ أُمِّهِ حَتَّى يَنْظُرَ أَيُهْدَى إِلَيْهِ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَنَالُ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةٌ لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةٌ تَيْعِرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَيْ إِبْطَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ مَرَّتَيْنِ
Diriwayatkan dari Abu Humaid as-Saaidi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi tugas kepada seorang lelaki dari Kaum al-Asad yang dikenali sebagai Ibnu Lutbiyah. Ia ikut Amru dan Ibnu Abu Umar untuk urusan sedekah. Setelah kembali dari menjalankan tugasnya, lelaki tersebut berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: Ini untuk Anda dan ini untukku karena memang dihadiahkan kepadaku. Setelah mendengar kata-kata tersebut, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar. Setelah mengucapkan puji-pujian ke hadirat Allah, beliau bersabda: “Adakah patut seorang petugas yang aku kirim untuk mengurus suatu tugas berani berkata: Ini untuk Anda dan ini untukku karena memang dihadiahkan kepdaku? Kenapa dia tidak duduk di rumah bapak atau ibunya (tanpa memegang jabatan apa-apa) sehingga ia menunggu, apakah dia akan dihadiahi sesuatu atau tidak? Demi Dzat Muhammad yang berada di tangan-Nya, tidaklah salah seorang dari kalian mengambil sesuatu darinya kecuali pada Hari Kiamat kelak dia akan datang dengan memikul di atas lehernya (jika yang diambil itu seekor unta maka) seekor unta itu akan mengeluarkan suaranya, atau seekor lembu yang melenguh atau seekor kambing yang mengembek. “ Kemudian beliau mengangkat kedua-dua tangannya tinggi-tinggi sehingga nampak kedua ketiaknya yang putih, dan beliau bersabda: “Ya Allah! Bukankah aku telah menyampaikannya,” sebanyak dua kali. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).[11]
          Hadits ini menceritakan tentang seorang bernama Ibnu Lutbiyah yang menerima hadiah/risywah ketika sedang menjalankan tugasnya sebagai petugas amil zakat. Dalam hadits ini dijelaskan Rasulullah memberikan sanksi berupa sanksi moral dengan mempermalukan pelaku suap didepan umum. Nampaknya dalam kasus ini Rasulullah lebih menanamkan pembinaan moral dengan menanamkan kesadaran untuk menghindari risywah.
            Sanksi yang diberikan Rasulullah kepada Ibnu Lutbiyah masih ringan karena mengingat apa yang diterima Lutbiyah memang tidak seberapa dan juga akibat yang ditimbulkanya masih kecil. Jika dibandingkan dengan kondisi saat ini tentunya akan sangat jauh berbeda dimana korupsi sudah merajalela dan membudaya di masyarakat sehingga hakim dalam membuat keputusan juga harus mempertimbangkan hal-hal yang demikian.
3.      Khianat
Kata khianat berasal dari kata خان- يخون yang berarti sikap tidak becusnya seseorang ketika diberi kepercayaan. Menurut Wahbah al-Zuhaili khianat adalah suatu tindakan melanggar janji dan kepercayaan yang telah dibebankan kepadanya.[12]
Unsure jarimah yang satu ini sangat terkait erat dengan tindak pidana korupsi, bagaimanapun juga tindak pidana korupsi dilakukan dengan cara pengingkaran terhadap janji/sumpah jabatan yang yang dilakukanya.
Sebagaimana pada jarimah ghulul dan risywah, pada jarimah khianat, dalil-dalil yang menegaskan tentang keharaman jarimah khianat ini tidak menyebutkan masalah sanksi hukum secara eksplisit, jelas dan konkrit. Oleh karena itu khianat termasuk kedalam kategori jarimah takzir, bukan pada ranah hudud dan kisas/diat.
Ada sebuah kisah dalam hadits mengenai pengkhianatan yang kiranya dapat dijadikan dasar dalam penjatuhan hukuman terhadap pelaku jarimah khianat. Hadits tersebut kurang lebih berbunyi demikian:
Dari Ali ra, dia berkata: Rasulullah mengutus saya, Zubair bin Awwam dan Abu Marsad al-Ghanawi, kami semua naik kuda, beliau bersabda: bergegaslah kalian menuju kebun khah, sungguh disitu ada seorang perempuan musyrik yang membawa selembar surat berasal dari Hatib bin abi Balta’ah untuk orang-orang musyrik (di Makkah). Ali berkata kami menemukan seoarang perempuan itu sedang berjalan diatas ontanya, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah, kami katakana kepadanya dimana surat yang kau bawa? Perempuan itu menjawab saya tidak membawa surat. Maka kami derumkan ontanya dan kami geledah surat tersebut tapi kami tidak menemukanya, ketika itu dua teman kami (Zubair dan Abu Marsad) berkata kami tidak melihat surat, Ali bekata sungguh saya tau persis Nabi tdak pernah berbohong. Lalu Ali berkata dengan tegas kepada wanita tersebut, demi Allah kamu keluarkan surat tersebut atau kamu saya telanjangi, kerna melihat keseriusan Ali diberikanlah surat tersebut kepada Ali.[13]
Hadits tersebut menceritakan seorang sahabat bernama Hatib bin abi Balta’ah yang membocorkan rahasia kaum muslimin kepada orang musyrik di Makkah yang diantarkanya melalui seorang permpuan. Ketika itu Umar bin Khattan hendak membunuh Hatib bin abi Balta’ah sebagai sanksi atas pengkihantanya terhadap kaum muslimin, namun rasulullah mencegah Umar mengingat Hatib bin abi Balta’ah telah mengakui kesalahanya dan bersikap jujur bahkan dia juga sala satu sahabat yang berjasa besar dalam perang Badar.
Dalam beberapa kasus korupsi saat ini mungkin kita bisa meng-qiyaskan dengan hadits diatas, seorang koruptor sebelum menduduki jabatan public pastinya telah disumpah untuk menjalankan amanat dari masyarakat maka ketika ia memakan uang rakyat, merampas hak-hak rakyat maka saat itu juga ia telah mengkhianati rakyat sehingga ia dapat dikenakan sanksi jarimah khianat berupa hukuman takzir sesuai dengan berat ringanya tindak pidana yang dilakukanya.
Dari uraian panjang diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam hukum pidana islam tindak pidana korupsi termasuk dalam jarimah takzir yang teknis dan pelaksanaanya diserahkan kepada hakim. Meskipun takzir bukan temasuk kategori hukuman hudud bukan berarti tidak boleh lebih keras dari hudud. Tentu dalam memutuskan suatu jenis dan ukuran  sanksi takzir  ini harus tetap memperhatikan petunjuk nas dan keagamaan sebab hal ini menyangkut masalah kepentingan masyarakat.
C.    Tindak Pidana Korupsi menurut UU No.21 Tahun 2001
Tindak pidana korupsi ini secara berurutan diatur dalam pasal 2 sampai dengan pasal 13 UU No.31 tahun 1999 dan UU No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 2 ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).[14]
Apabila diteliti maka akan ditemui beberapa unsure yang meliputi (a) memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain, dan memperkaya kooporasi, (b) unsure melawan hukum, (c) dapat merugikan keuangan negara ayau perekonomian negara.
Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).[15]
Pasal ini mengandung beberapa unsure meliputi: unsure-unsur  (a) objektif yaitu perbuatanya yang terdiri dari menyalahgunakan wewenang, menyalahgunakan kesempatan dan menyalahgunakan sarana yang ada padanya karena jabatan dan kerana kedudukan yang merugikan keuangan negara dan perekonomian negara. (b) unsure subjektif adalah menguntungkan diri sendiri, menguntungkan orang lain dan menguntungkan suatu korporasi.
Pasal 5 UU No.20 tahun 2001 yang berbunyi sebagai berikut:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.[16]
           

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yakni Corruptio atau Corruptus. Arti harafiah dari kata korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, katidak jujuran, penyimpangan. Unsure utama dalam tindak pidana korupsi adalah memperkaya diri sendiri secara melawan hukum dengan merugikan uang negara baik dilakukan oleh penyelenggara negara atau bukan.
Dalam sumber literature hukum Islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah) tidak ditemukan pengertian korupsi secara eksplisit, namun beberapa istilah yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits sudah mengisyaratkan dan mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi ini secara global
Terdapat beberapa jarimah dalam fikh jinayah yang mendekati terminology korupsi saat ini, beberapa jarimah tersebut antara lain: ghulul, risywah, dan khianat.
Secara etimologis kata ghulul berarti berkhianat terhadap harta rampasan perang. Mulanya ghulul hanya terbatas pada tindakan pengambilan, penggelapan atau berlaku curang dan khianat terhadap harta rampasan perang, akan tetapi dalam perkembangan pemikiran berikutnya ghulul juga berlaku terhadap harta secara umum, seperti harta baitul mal, harta milik bersama kaum muslimin, harta negara, harta zakat dan lain-lain.
Risywah secara etimologis berarti upah, hadiah, komisi, atau suap. Adapun secara terminologis risywah adalah sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarka yang batil dan menyalahkan yang benar. Dalam hal ini risywah dapat dikategorikan sebagai suatu cara untuk mendapatkan harta, kedudukan, jabatan dengan cara yang batil.
Kata khianat berasal dari kata خان- يخون yang berarti sikap tidak becusnya seseorang ketika diberi kepercayaan. Menurut Wahbah al-Zuhaili khianat adalah suatu tindakan melanggar janji dan kepercayaan yang telah dibebankan kepadanya.


[1]Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Fiqh Jinayah, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Depag RI, 2009), hal: 42
[2] Abu Fida’ Abdur Rafi’, Terapi Penyakit Korupsi, (Jakarta: Republika, 2006), hal: 1
[3]Ibid, hal: 94
[4] Haq al-Azim Abadi, Aun al Ma’bud, jilid 5, hal 155
[5] QS Ali-Imran ayat 161
[6] Op.cit, Muhammad Nurul Irfan, hal: 98
[7] Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Indonesia: ttp Maktabah Dahlan, tth), jilid 2, hal: 396
[8] Op. Cit, Abu Fida’ Abdur Rafi’, hal: 5-6
[9] Al-Syaukani, Nail al-Authar, (Beirut: Dar al-Fikr) jilid 9, hal 172
[10] Ibid, hal: 123
[11] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (Beirut: Dar al-Fikr), jilid 5, hal 279
[12] Ibid, hal: 131-132
[13] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Jili 4, hal 2525-2526
[14] UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
[15] UU No. 31 Tahun 1999
[16] UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999
 



DAFTAR PUSTAKA
Irfan, Muhammad Nurul, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif        Fiqh Jinayah, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Depag RI, 2009
Rafi’, Abu Fida’ Abdur, Terapi Penyakit Korupsi, Jakarta: Republika, 2006
Abadi, Abu al-Thayib Muhammad Syamsul Haq al-Azim, Aun al Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, al-Qahirah: Dar al-Hadits, 2001, jilid 5
Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Indonesia: ttp Maktabah Dahlan, tth
Al-Syaukani, Muhammad Ibn Ali bin Muhammad, Nail al-Authar, Beirut: Dar al-Fikr, jilid 9
Hanbal, Ahmad bin, Musnad Ahmad, Beirut: Dar al-Fikr, jilid 5
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Jilid 4
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999



0 komentar:

Posting Komentar