MAKALAH
Tafsir Ayat tentang Pembunuhan
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Tafsir Ahkam Pidana dan Politik
Dosen
Pengampu : Bapak Tholhatul Khoir
Disusun
Oleh :
Hafidz
Cahya Adiputra (122211002)
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Agama Islam adalah suatu sistem nilai yang paling
mapan dalam sejarah agama di dunia. Dalam menjalani kandungan ajaran tersebut
maka Allah SWT telah menjanjikan dua hal sebagai balasan atas apapun yang
menjadi tindakan umat manusia. Pahala (balasan baik) adalah bagi mereka yang
beramal shalih. Dan dosa (balasan buruk) akan berbuah siksa bagi mereka yang
melakukan tindak kemaksiatan. Kedua konsekuensi tersebut adalah bukti bagi
ke-Maha Adilan Allah SWT.
Dalam hal ini, segala jenis kejahatan memang diharapkan pupus di
dalam dunia ini. Akan tetapi, terbukti dari mulai awal kehidupan manusia (Nabi
Adam), wujud kejahatan tetap ada dan tidak pernah luput di atas bumi. Kejahatan
tersebut salah satunya adalah pembunuhan.
Pembunuhan
pertama dalam kehidupan manusia adalah pembunuhan yang dilakukan oleh Qabil dan
terhadap Habil. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat
Al-Maaidah ayat 30 :
Artinya : Maka hawa nafsu Qabil
menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah,
maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi. (QS. Al-Maaidah: 30).
Oleh
karena itu, ketika Islam turun dengan menyiapkan paket-paket hukum dan hukuman
bagi pelaku kejahatan pembunuhan. Walaupun kenyataan kejahatan ini tidak bisa
100% hilang di muka bumi, minimal pengaturan hukum Islam bertujuan menurunkan
kadar statistik kejahatan. Dan inilah kiranya yang melatar belakangi penyusunan
makalah ini.
B.
Rumusan masalah
1.
Tafsir Ayat tentang
pembunuhan
2.
Istimbat hukum
tentang Pembunuhan dan Diyat
3.
Hikmah ayat
dalam kehidupan kontemporer
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tafsir ayat
tentang pembunuhan
Dalil tentang pembunuhan dapat dilihat didalam surat An-Nisaa’ ayat 92 dan
93[1],
yang berbunyi sebagai berikut:
Artinya : dan tidak layak bagi seorang mukmin
membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja),
dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada
perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa yang tidak memperoleh nya,
maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk
penerimaan taubat dari Allah. Dan Allah Maha mengetahui lagi maha bijaksana.
Artinya : dan barang siapa yang
membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka jahanam.
Ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta
menyediakan azab yang besar baginya.
Penjelasan Ayat:[2]
()
Bukan pekerjaan orang mukmin, bukan
pula akhlaqnya untuk membunuh salah seorang mukmin yang lain. Karena iman, yang
merupakan penguasa jiwa dan pengatur serta penggerak kehendak, telah
mencegahnya untuk melakukan dosa besar ini dengan sengaja. Akan tetapi,
kadang-kadang orang mukmin melakukannya secara tidak sengaja atau keliru
(keliru artinya tidak ada kesengajaan untuk melakukan atau didorong oleh
seseorang, atau tidak bermaksud melenyapkan nyawa seperti biasa).
Sedangkan tolok ukur pembunuhan sengaja adalah adanya
niat membunuh atau niat melakukan perbuatan yang pada umumnya menyebabkan
kematian sekalipun tidak berniat membunuh dan hanya melukai yang pada akhirnya
tewasnya korban. Hal ini dikutip dari para fuqaha yang masyhur yang berpendapat
bahwa jika sejak awalnya perbuatan itu disertai dengan niat membunuh maka ia
dianggap sengaja, jika tidak maka tidak. Pendapat
tersebut dikuatkan lagi oleh pendapat imam Shadiq yang berkata : kekeliruan
ialah ketika seseorang menghendaki sesuatu tapi yang ia dapatkan sesuatu yang
lain. Sedangkan segala sesuatu yang dituju telah diperoleh, maka yang demikian
itu adalah sengaja.[3]
Dalam riwayat lain, siapapun yang meniatkan sesuatu dan mendapatkannya,
baik dengan besi, batu, tongkat atau dengan pukulan tangan maka semua itu
adalah kesengajaan.[4]
Kekeliruan itu terjadi karena iman
orang mukmin itu tidak sempurna. Sebenarnya, hal itu tidak akan terjadi,
apabila ia menyadari hak-hak iman yang harus dipenuhi, yaitu hak-hak Allah dan
para hamba. Pembunuhan dengan sengaja harus dijatuhi hukuman Qishas, karena
Qishas dapat menahan pembunuhan dan karena meninggalkannya berarti menghinakan
hak-hak darah. Barangsiapa yang menghinakan hak-hak itu, berarti ia telah
menghancurkan salah satu hak umat dan mengancam salah satu rukun iman. Hal itu
diisyaratkan oleh firman-Nya dalam Al-Maidah ayat 32, yang berbunyi:
Artinya : Barangsiapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka
seakan-akan dia telah membunuh seluruhnya.
Sebab dijatuhkannya hukuman
terhadap perbuatan keliru seperti membunuh, karena kekeliruan itu tidak lepas
dari peremehan dan tidak adanya perhatian; yang seperti itu ialah lupa. Sebab
telah menjadi sunah Allah untuk menjatuhkan hukuman karena kekeliruan dan
kelupaan itu. Dan karena itu, Allah SWT. memerintahkan kepada kita supaya
berdo’a kepada-Nya agar tidak menghukum kita karena keduanya.
()
Apabila seseorang membunuh seorang
mukmin karena keliru, seperti dia bermaksud memanah buruan atau suatu sasaran,
lalu mengenai seorang mukmin, atau memukulnya dengan benda yang menurut
kebiasaan tidak akan dapat membunuh, seperti menempelengnya dengan tangan atau
memukulnya dengan tongkat, lalu dia mati, padahal ia tidak bermaksud
membunuhnya, maka ia wajib memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin.
Karena, setelah dia meniadakan jiwa seorang mukmin, maka sebagai kaffarat
adalah mengadakan jiwa yang lain. Jadi, memerdekakan ibarat mengadakan jiwa
dari tidak ada.
()
Diyat, ialah harta yang wajib
dikeluarkan oleh orang yang merdeka karena tindakan kriminal terhadap jiwa atau
lainnya dan diberikan kepada ahli waris si terbunuh sebagai ganti dari
darahnya.
Balasan bagi orang yang membunuh
orang mukmin karena keliru, disamping memerdekakan hamba sahaya yang mukmin
ialah membayar diyat kepada keluarga si terbunuh. Sunnah telah menjelaskan dan
membatasi diyat itu menurut ukuran yang dapat diterima oleh bangsa Arab, yaitu
100 unta yang berlainan umur atau harganya, apabila diantaranya orang yang
membayar yang berhak menerimanya saling meridhoi. Diyat wanita ialah separuh dari diyat laki-laki. Karena
manfaat yang hilang dari keluarga laki-laki akibat hilangnya dia lebih besar daripada
manfaat yang hilang akibat hilangnya wanita itu.
()
Diyat diwajibkan ataas orang yang
membunuh karena keliru kepada keluarga si terbunuh, kecuali jika mereka dengan
kerelaannya menggugurkan kewajiban membayar diyat itu. Sebab, diwajibkannya
diyat tidak lain dimaksudkan agar hati mereka menjadi baik, sehingga tidak
terjadi permusuhan dan kebencian antara mereka dengan si pembunuh dan
dimaksudkan sebagai ganti rugi. Tetapi, apabila mereka memaafkannya berarti
mereka telah baik dan mereka menjadi orang-orang yang lebih utama daripada
orang yang membunuh.
()
Apabila si terbunuh dari musuh
kalian, sedangkan dia seorang yang mukmin; seperti Harits bin Yazid dari kaum
Quraisy yang merupakan mush-musuh Nabi SAW. dan kaum mukminin sedang dalam
keadaan berperang dengan mereka- kaum muslimin tidak mengetahui bahwa dia telah
beriman karena dia tidak berhijrah.
()
Meraka ialah orang-orang yang
mengadakan perjanjian damai dengan kalian, bahwa mereka tidak akan memerangi
kalian, dan sebaliknya.
()
Barang siapa membunuh orang yang
mengadakan perjanjian damai, berkewajiban seperti orang yang membunuh orang
mukmin, yaitu membayar diyat kepada keluarganya sebagai ganti dari hak mereka,
dan memerdekakan hamba sahaya yang mukmin sebagai kaffarat dari hak Allah.
()
Bagi orang yang tidak mendapatkan
hamba sahaya yang akan dimemerdekakannya, seperti tidak punya harta untuk
membeli dari pemiliknya, maka hendaklah menjalankan puasa 2 bulan
berturut-turut.
()
Diyat itu disyariatkan bagi kalian,
agar Allah memberikan ampunan kepada kalian dan membersihkan jiwa kalian dari
peremehan dan ketidaktelitian yang mengkibatkan pembunuhan keliru.
()
Allah maha mengetahui tentang ihwal
jiwa dan apa yang dapat membersihkannya, serta Maha Bijaksana dalam
mensyariatkan hukum-hukum dan adab-adab yang dengan itu Dia menunjuki kalian
kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Khalidan
fiha : berdiam didalam
neraka Jahannam untuk selama-lamanya, atau untuk waktu yang sangat lama. Ghadiballahu ‘alaih : membalas dendam
kepadanya. La’anahu : menjauhkannya
dari rahmat Allah. A’adda lahu:
menyediakan baginya.
Tafsirannya:
Dalil naqli tentang pembunuhan[5]
yang Allah SWT. telah memfirmankan dalam surat An-Nisaa’ ayat 92 dan 93 bahwa
tidak layaklah bagi seorang mukmin membunuh sesama saudara mukminnya dengan
alasan apapun kecuali karena tersalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Bukhori dan Muslim dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
عَنْ اِبْنِ مَسْعُوْدٍ رض. قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صم. : لاَ حِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ اَنْ لَاإِلَهَ إِلَّا
اللهُ وَاَنِّى رَسُوْلَ اللهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلاَثٍ : الثَّيِّبِ الزَانِى
وَالنَّفْسِ بِالنَّفْسِ وَتَّارِكِ الْدِيْنِهِ الْمُفَارِقِ لِلْجَمَاعَةِ.
Artinya : Tidak
dihalalkan darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali salah satu di antara
tiga kelompok orang ini, yaitu seorang janda ( orang yang telah menikah ) yang
berzina, seseorang yang membunuh orang lain, dan orang yang meninggalkan
agamanya, yakni orang yang memisahkan dirinya dari jama’ah.(HR. Al-Jamaah)[6]
Dan sekalipun terjadi satu diantara tiga pelanggaran
ini, maka tidak seorang pun selain Imam atau Hakim, Penguasa yang dapat
melakukan pembunuhan termaksud. Para ahli tafsir berselisih tentang sebab
turunnya ayat ini, Mujtahid berkata bahwa ayat ini mengenai peristiwa lyasy
dengan Al-Harits bin Yasid yang menceritakan sebagi berikut:[7]
“Al-Harits bin Yasid bersama Abu Jahal pernah
menyiksa dan menganiaya lyasy bin Abi Rabi’ah karena ia masuk Islam dan beriman
kepada Rasulullah. Lyasy pada waktu itu tidak bisa berbuat apa-apa, hanya
menahan dendam didalam hatinya terhadap kedua orang yang telah menyiksanya.
Maka pada hari penaklukan Mekkah, tatkala Lyasy melihat Al-Harits bin Yasid, ia
segera menyambarnya dan dibunuhlah ia, padahal Al-Harits telah masuk Islam dan
ikut berhijrah”.
Adapun menurut cerita Abdurrahman bin Zaid bin
Aslam, ayat ini mengenai Abu Darda salah seorang sahabat Rasulullah, yang telah
membunuh seseorang yang mengucapkan syahadat ketika ia mengangkat pedangnya,
tetapi tidak dihiraukan dan dibunuhlah orang itu. Dan tatkala ia menceritakan
kepada Rasulullah apa yang telah dilakukannya dengan tambahan keterangan, bahwa
si terbunuh itu mengucapkan syahadat sekedar untuk menghindari pembunuhan,
Bersabdalah Rasulullah SAW. yang artinya “Apakah engkau telah membedah hatinya
(mengetahui isi hatinya)?” dan Allah SWT. juga berfirman, bahwa barangsiapa
membunuh seorang mukmin karena khilaf dan tidak sengaja, maka ia dibebani dua
kewajiban yakni membayar kafarat dan diyat.
Diriwayatkan pula oleh Bukhori dari Abdullah bin
Umar, bahwa Rasulullah SAW. pernah mengutus Khalid Ibnu Walid kepada suku Bani
Khuzaimah mengajak mereka masuk Islam. Dan karena mereka tidak sanggup
menyatakan dengan tegas “Kami Berislam”, tepai hanya mengatakan
“Shaba’na-shaba’na” artinya kami bertukar agama, kemudian oleh Khalid
dibunuhlah mereka semua. Dan tatkala sampai berita itu kepada Nabi SAW.,
Rasulullah bersabda sambil mengangkat kedua tangannya seraya berkata “Ya Allah,
aku menolak dan mengingkari apa yang diperbuat oleh Khalid”.
Kemudian Beliau mengutus Ali bin Abi Thalib untuk
membayar diyat (ganti rugi kepada keluarga
orang-orang yang dibunuh oleh Khalid. Diyat atau ganti rugi yang harus
dibayarkan oleh si pembunuh hendaklah dibayarkan kepada keluarga yang terbunuh,
kecuali mereka bersedekah atau mengikhlaskan si pembunuh –memaafkan si
pembunuh- dari pembayaran diyat.
Dan jika orang yang dibunuh karena tersalah itu,
seorang mukmin, tetapi ia termasuk warga kaum yang memusuhi kamu, maka tidak
diwajibkan membayar diyat, hanya kafarrah yang harus dilakukan, yaitu
memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin. Akan tetapi jika diantara kamu
dan kaum yang terbunuh itu ada perjjanjian damai, maka hendaklah kepada
keluarga si terbunuh diberikan diyat –ganti rugi- disamping memerdekakan
seorang hamba sahaya sebagai kafarrah.
Mengenai
penuntutan si terbunuh terhadap si pembunuh dihari kiamat, maka hal itu adalah
termasuk salah satu dari hak-hak manusia yang tidak dapat dihapus dengan tobat,
tetapi harus dikembalikan kepada mereka yang bersangkutan. Tidak ada bedanya
antara orang terbunuh dengan kecurian, dirampas dan digunjing dengan tuduhan
palsu. Itu semuanya termasuk hak antar sesama manusia yang menurut ijma’ tidak
dapat terhapus dengan tobat dan harus dikembalikan kepada yang berkepentingan
sebagi syarat sah tidaknya tobat seseorang, jika tidak diselesaikannya semasa hidup
mereka, maka pasti akan menjadi tunutan dan pengaduan dihari kiamat. Adanya
tuntutan dan pengaduan dari seorang yang terbunuh terhadap yang membunuhnya
dihari kiamat tidak selalu membawa akibat hukuman Tuhan bagi si pembunuh.
Karena ada kalanya si pembunuh telah melakukan amal-amal sholeh semasa hidupnya
yang sebagian dari pahalanya diberikan kepada si terbunuh sebagai ganti rugi
sehingga dengan sisa pahala amal-amal sholehnya masih dapat memasuki surga,
atau Allah dengan rahmat dan karunia-Nya memberi ganti rugi kepada si terbunuh
berupa kenikmatan di surga dan sebagainya.[8]
B.
Istimbat hukum
tentang pembunuhan dan diyat
Dari uraian diatas, sudah sangat jelas pembunuhan
sanat dilarang dalam islam. menurut Wahbah Zuhaili yang
mengutip pendapat Syarbini Khatib sebagai berikut :
الْقَتْلُ
هُوَ الْفِعْلُ الْمُزْهِقُ اَيِ الْقَاتِلُ لِلنَّفْسِ
Artinya : Pembunuhan
adalah perbuatan yang menghilangkan atau mencabut nyawa seseorang.
Sedangkan Abdul Qadir
Audah memberikan definisi pembunuhan sebagai berikut :
الْقَتْلُ هُوَ فِعْلٌ
مِنَ الْعِبَادِ تَزُوْلُ بِهِ الْحَيَاةُ أَيْ اَنَّهُ إِزْهاَقَ رُوْحٍ
اَدَمِىٍّ بِفِعْلٍ اَدَمِىٍّ اَخَرَ
Artinya : Pembunuhan
adalah perbuatan manusia yang menghilangkan kehidupan yakni pembunuhan yang
menghilangkan nyawa manusia dengan sebab perbuatan manusia yang lain.
Dari definisi tersebut
dapat diambil intisari bahwa pembunuhan adalah perbuatan seseorang terhadap
orang lain yang mengakibatkan hilangnya nyawa, baik perbuatan tersebut
dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja.[9]
Pembunuhan merupakan
perbuatan yang dilarang oleh syara’. Hal ini diperkuat dengan dalil-dalil yang lain dalam
Al-Qur’an.
1. Surat
Al-An’aam ayat 151
Katakanlah:
"Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap
kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah
kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya
maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu
yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). (QS. Al-An’aam: 151).
2. Surat
Al-Israa’ ayat 31
Artinya : Dan janganlah
kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberikan
rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah
suatu dosa yang besar. (QS. Al-Israa’: 31).
3. Surat
Al-Israa’ ayat 33
Artinya : Dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu
(alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya
Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris
itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat
pertolongan. (QS. Al-Israa’: 33).
4. Surat
Al-Furqaan ayat 68
Artinya : Dan
orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang
benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu,
niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya) (QS. Al-Furqaan: 68).
Dalam ayat-ayat diatas,
hukuman bagi pelaku pembunuhan adalah Qisas, yaitu memberikan hukuman kepada
pelaku sesuai perbuatannya. Dalam hal ini adalah pembunuhan, maka pelaku dihukum mati. kecuali apabila ada
pemberian maaf dari keluarganya, maka pelaku diwajibkan membayar diyat.
Diyat merupakan uqubah
amaliyah (hukuman yang bersifat harta), yang diserahkan kepada korban apabila
ia masih hidup, atau kepada walinya apabila ia sudah meninggal. Dasar hukum
diyat sudah dijelaskan diatas, yaitu dalam surat An-Nisa ayat 92 yang
menyatakan bahwa hukuman diyat dikenakan kepada pelaku pembunuhan yang
merupakan hukuman pengganti selain dari Qisas.
Kadar diyat dijelaskan
dari hadist Nabi SAW,
اَنَّ مَنِ اعْتَبُطَ مُؤْمِناً قَتْلًا عَنْ
بَيِّنَةٍ فَاِنَّهُ قَوَدٌ اِلَّا اَنْ تَرْضَى اَوِلْيَاءُ الْمَقْتُوْلِ
وَاِنَّ فِى النَّفْسِ الدِّيَةُ مِائَةٍ مِنَ الْإِبِلِ . . .
Artinya : sesungguhnya barangsiapa yang membunuh eorang mukmin tanpa alasan
yang sah dan ada saksi, ia harus diqisas kecuali apabila keluarga korban
merelakan (memaafkan). Dan sesungguhnya dalam menghilangkan nyawa harus membayar
diyat, berupa seratus ekor unta.
Sedangkan menurut Imam Abu yusuf, Imam Ahmad dan Imam Muhammad Ibn Hasan,
jenis diyat itu ada 6 macam, Yaitu : Unta, 1000 dinar (emas), 12.000 dirham
(perak), 200 ekor sapi, 1.000 ekor kambing, pakaian 200 pasang.[10]
C. Hikmah
ayat dalam kehidupan kontemporer
Hikmah yang dapat kita ambil dari penjelasan tafsir ayat
pembunuhan diatas adalah :
1.
Sebagai jaminan kelangsungan hidup manusia.
2.
Menjaga
masyarakat dari kejahatan dan menahan setiap orang yang akan menumpahkan darah
orang lain.
3.
Mewujudkan
keadilan dan menolong yang terzhalimi dengan memberikan kemudahan bagi wali
korban untuk membalas pelaku seperti yang dilakukannya kepada korban.
4.
Qisas Menjadi sarana
taubat dan pensucian dari dosa yang telah dilanggarnya, karena qishâsh menjadi
kaffârat (penghapus) dosa pelakunya.
5.
Sebagai larangan keras bagi manusia karena perkara
pembunuhan akan diselesaikan pertama kali pada hari kiamat. Seperti hadist Nabi
:
اَوَّلُ مَا
يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِى الدَّماَءِ
Artinya : perkara yang pertama kalia akan
diselesaikan di antara manusia pada hari kiamat nanti ialah perkara darah
(pembunuhan).[11]
BAB III
A. Kesimpulan
Pada penghujung
uraian kiranya kita perlu memberikan kesimpulan bahwa Al-Qur’an sangat melarang
pembunuhan untuk kelangsungan kehidupan manusia yang lebih baik. Al-Qur’an
mengisyaratkan untuk menghindari perbuatan-perbuatan tercela agar manusia
terhindar dari dampak negative perbuatan tercela itu. Al-Qur’an juga
menggariskan bahwa terjadinya perbuatan pembunuhan dan perbuatan tercela
lainnya tidak pernah lepas dari nilai-nilai moral yang telah ditetapkan oleh
Allah dan Rasulnya. Akhirnya, Allah telah menetapkan suatu hukum bagi pelaku
pembunuhan sebagai efek jera dan pelebur (kafarat) atas dirinya. Terlepas dari
hal itu, manusia diwajibkan untuk beribadah kepada pemilik mutlak, yaitu ALLAH
SWT.
B. Penutup
Demikian makalah yang
kami buat semoga dapat menjadi bahan pembelajaran serta acuan untuk makalah
selanjutnya. Kami sepenuhnya menyadari kekurangan dari makalah kami, dengan
penuh kerendahan hati, kami meminta
saran dan kritik yang bersifat membangun guna memperbaiki makalah kami
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi,
Ahmad Musthafa. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Jilid 5. Penerjemah Bahrun Abubakar dan Hery Noer
Aly. Semarang : PT. Karya Toha Putra.
1993.
Al-Qur’an
Digital
An-Nawawi,
Imam. Syarah Shahih Muslim. Jakarta : Darus Sunnah. 2013.
Ash-Shiddieqy,
Hasbi. Kumpulan hadist-hadist Hukum. Semarang : Rizki Putra. 2002.
Bahreisy ,
Salim dan Said Bahreisy. Terjemah singkat Tafsir Ibnu Katsir. Surabaya :
PT. Bina Ilmu. 1986.
Hasan, Abdul
Halim. Tafsir Al-Ahkam. Jakarta : Kencana. 2006.
Jawab
Mughniyah, Muhammad. Fiqih Imam Ja’far Shadiq. Jakarta : Lentera. 2009.
Wardi Muslich,
Ahmad. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar grafika. 2005.
[1] Al-Qur’an Digital
[2] opcit. hlm.197-203
[3] Muhammad Jawab Mughniyah. Fiqih Imam Ja’far
Shadiq. (Jakarta : Lentera. 2009) hlm. 877
[4] Ibid Hlm. 878
[5] pembunuhan sengaja (القتل العمد), pembunuhan yang menyamai sengaja (القتل شبه العمد), pembunuhan yang tidak sengaja (القتل الخطأ)
[6] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy.
Koleksi Hadist-hadist Hukum. (semarang : Pustaka Rizki Putra. 2011) hlm. 293.
[7] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, terjemah singkat Tafsir
bnu Katsir, jilid II, pt.bina ilmu, surabaya, hlm.504-505
[8] Ibid. hlm.513-514
[11] Imam An-Nawawi. Syarah Shahih Muslim. (Jakarta
: Darus Sunnah. 2013). Hlm. 306
0 komentar:
Posting Komentar