WHAT'S NEW?
Loading...

Makalah Hukum Perikatan tentang Perjanjian Kerja



MAKALAH
Perjanjian kerja
Disusun Guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Hukum Perikatan
Dosen pengampu : Dr. Ja’far Baehaqi, S.Ag., M.H.



Disusun oleh :
Hafidz Cahya Adiputra          122211002

FAKULTAS SYARI'AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Perjanjian kerja sebagai sarana pendahulu sebelum berlangsungnya hubungan kerja, harus diwujudkan dengan sebaik-baiknya, dalam arti mencerminkan keadilan baik bagi penguasaha maupun bagi buruh, karena keduanya akan terlibat dalam suatu hubungan kerja.
Di dunia barat kehidupan masyarakat seperti halnya merupakan arena  pertarungan antara kepentingan-kepentingan perseorangan yang saling bertentangan, sedangkan didalam lingkungan masyarakat Indonesia adalah tempat kerjasama dimana anggota melakukan tugas tertentu menurut pembagian kerja yang tertatur menuju tercapainya cita-cita bersama, yaitu masyarakat adil dan makmur.
Dalam masyarakat Indonesia yang demikian itu,  misalnya dicerminkan dalam asas pokok yang mengatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, soal pemburuhan nanti bukan lagi semata-mata soal melindungi pihak yang perekonomiannya lemah terhadap pihak yang perekonomiannya kuat untuk mencapai adanya keseimbangan antara kepentingan yang berlainan, melainkan juga soal menemukan jalan dan cara yang sebaik-baiknya, dengan tidak meninggalakan sifat kepribadian dan kemanusiaan, bagi setiap orang yang melakukan pekerjaan, untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya dari tiap pekerjaan yang sudah ditentukan menjadi tugasnya dan sebagai imbalan atas jerih payanhnya itu mendapat kan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.  Oleh karena itu harus diatur dan perlu adanya suatu ikatan antara pekerja dan majikan.

B.     Rumusan masalah
1.      Definisi perjanjian untuk melakukan pekerjaan
2.      Sumber pengaturan perjanjian kerja
3.      Perjanjian kerja pada umumnya
4.      Kewajiban majikan
5.      Kewajiban buruh
6.      Cara berakhirnya hubungan kerja karena perjanjian kerja
7.      Perjanjian kerja atau perburuhan
8.      Perjanjian pemborongan pekerjaan
9.      Contoh perjanjian kerja
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi perjanjian untuk melakukan pekerjaan
Perjanjian kerja adalah perjanjian dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah kepada pihaka lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh itu dengan membayar upah.
Undang-undang membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan dalam tiga macam, yaitu :
1.      Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu
Dalam perjanjian ini, suatu pihak menghendaki dari pihak lawannya dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan, untuk mana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan dilakukan untukmencapai tujuan tersebut sama sekali terserah kepada pihak lawan itu. Biasanya pihak lawan ini adalah seorang ahli dalam melakukan pekerjaan tersebut dan biasanya ia juga sudah memasang tarif untuk jasanya itu. Upahnya biasanya dinamakan honorarium. Dalam perjanjian ini, lazimnya dimasukkan antara lain :
a.       Hubungan antara seorang pasien dengan dokter yang diminta jasanya untuk menyembuhkan suatu penyakit
b.      Hubungan antara seorang pengacara dengan klien nya yang minta diurusnya suatu perkara
c.       Hubungan antara seorang noratis dengan seorang yang datang kepadanya untuk dibuatkan suatu akte, dan lain sebagainya.
2.      Perjanjian kerja atau perburuhan
Perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian yang ditandai oleh ciri-ciri :
a.       Adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan
b.      Adanya suatu hubungan diperatas, yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah yang harus ditaati oleh orang lain (buruh).
3.      Perjanjian pemborongan pekerjaan
Suatu perjanjian dengan seorang lain (pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan  seorang lain (pihak yang memborong pekerjaan), dimana pihak pertama menghendaki sesuatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan atas pembayaran suatu jumlah uang sebagai harga pemborongan. Bagaimana cara pemborong mengerjakannya tidaklah penting bagi pihak pertama tersebut, karena yang dikehendaki adalah hasilnya, yang akan diserahkan kepadanya dalam keadaan baik, dalam suatu jangka waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
Oleh karena perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu diatur ketentuan-ketentuan yang khusus untuk itu (misalnya antara pengacara dan kliennya diatur dalam pasal mengenai perjanjian pemberian kuasa), oleh syarat-syarat yang diperjanjikan. Sedangkan perjanjian perburuhan dan perjanjian pemborongan menyangkut hal-hal yang sangat luas.[1]
B.     Sumber pengaturan perjanjian kerja
Dalam alam pancasila perjanjian kerja harus terwujud karena adanya ketulusan dan itikad baik masing-masing pihak baik pengusaha maupun buruh, karena didalamnya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Oleh karena itu kiranya perlu perjanjian itu mencerminkan keadilan.
Pekerjaan yang diperjanjikan oleh pengusaha kepada calon buruh hendaknya pekerjaan yang diperbolehkan undang-undang, karena menurut pasal 1320 KUH Perdata untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu;
1.      Kesepakatan antara kedua belah pihak
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (dalam hal ini anak-anak dianggap tidak cakap untuk melakukan perjanjian).
3.      Susuatu hal tertentu, yang dalam hal ini untuk menerima tenaga kerja dan mempekerjakan tenaga kerja.
4.      Sebab halal (jadi pekerjaan itu merupakan yang diperbolehkan menurut undang-undang).
Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjia. Sedangkan syarat yang kedua terakhir dinamakan syarat objektif karena karena mengenai objek perjanjian.
Dengan dilakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian kerja, maka kedua belah pihak mempunyai kebebasan kehendak. Masing-masing pihak tidak mendapat tekanan atau paksaan yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut.
Pengertian sepakat dapat diartikan sebagai persyaratan kehendak para pihak. Pernyataan pihak yang menwarkan disebut tawaran dan pernyataan pihak yang menerima tawaran disebut akseptasi. Mengenai hal ini ada beberapa ajaran yaitu:
1.      Teori kehendak (wilstheorie) yang mengatakan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan.
2.      Teori pengiriman (verzendtheorie) yang mengatakan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran
3.      Teori pengetahuan (vernemingstheorie) yang mengatakan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya sudah diterima.
4.      Teori kepercayaan (vertrowenstheorie) yang mengatakan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menwarkan.[2]
C.    Perjanjian kerja pada umumnya
Bila perjanjian kerja diadakan secara tertulis, maka biaya aktanya dan perongkosan lainnya harus ditanggung majikan.[3] Jika pada waktu membuat perjanjian diberikan dan diterima uang panjar, maka kedua belah pihak tidak boleh membatalkan perjanjian itu dengan membiarkan uang panjar itu di tangan buruh (penerima panjar) atau dengan mengembalikan uang panjar itu kepada majikan (pemberi panjar). Uang panjar hanya dapat dikurangkan dari upah, jika perjanjian kerja diadakan untuk waktu lebih dari tiga bulan atau untuk waktu yang tak ditentukan dan ternyata berjalan selama lebih dari tiga bulan.[4]
Mengenai perjanjian kerja yang diadakan oleh seorang perempuan yang bersuami sebagai buruh, undang-undang menganggap perempuan itu telah memperoleh izin dari suaminya. Tanpa bantuan suaminya ia boleh melakukan segala perbuatan perjanjian itu, termasuk membayar segala penagihan dan menghadap Hakim. Ia berhak menerima atau menuntut apa saja yang disebut dalam perjanjian kerja untuk kepentingan keluarganya.[5] Sedangkan, Anak yang belum dewasa mampu membuat perjanjian kerja sebagai buruh, jika ia dikuasakan untuk itu oleh walinya menurut undang-undang, baik dengan lisan maupun dengan tulisan. Surat kuasa lisan hanya berlaku untuk membuat suatu perjanjian kerja tertentu. Jika anak yang belum dewasa belum berusia 18 tahun, maka kuasa itu harus diberikan dihadapan majikan atau orang yang mewakilinya.[6] Kuasa tersebut tidak dapat diberikan dengan bersyarat. Jika kuasa diberikan secara tertulis, maka anak yang belum dewasa itu wajib menyerahkan surat kuasanya kepada majikan, yang harus segera menyampaikan suatu salinan yang ditandatangani kepada anak yang belum dewasa itu dan pada waktu berakhirnya hubungan kerja,. mengembalikan surat kuasa tersebut kepada anak yang belum dewasa tersebut atau orang-orang yang mendapat hak daripadanya. Sekedar tidak secara tegas dikecualikan dengan syarat-syarat tertentu dalam kuasa yang telah diberikan itu, anak yang belum dewasa, tanpa mengurangi ketentuan alinea ketiga.
Namun demikian, ia tidak dapat menghadap Pengadilan tanpa dibantu oleh walinya menurut undang-undang, kecuali bagi Pengadilan ternyata bahwa wali tersebut tidak mampu menyatakan kehendaknya.[7]
Jika anak yang belum dewasa, yang belum mampu membuat suatu perjanjian kerja, telah membuat perjanjian kerja dan karena itu selama enam minggu telah melakukan pekerjaan pada majikan tanpa rintangan dari walinya menurut undang-undang, maka ia dianggap telah diberi kuasa dengan lisan oleh walinya untuk membuat perjanjian kerja itu.[8] Dan Suatu perjanjian kerja antara suami istri adalah batal.[9]
D.    Kewajiban majikan
1.      Majikan wajib membayar upah buruh pada waktu yang ditentukan.[10]
2.      Upah yang ditetapkan menurut jangka waktu, harus dibayar sejak saat buruh mulai bekerja sampai saat berakhirnya hubungan kerja.[11]
3.      Tidak ada upah yang harus dibayar untuk waktu buruh tidak melakukan pekerjaan yang diperjanjikan.[12]
Akan tetapi buruh berhak untuk meminta dan menerima upah, yang ditetapkan menurut lamanya buruh, bekerja untuk waktu yang tidak begitu lama, bila ía berhalangan melakukan pekerjaan karena sakit atau mengalami kecelakaan, kecuali bila sakitnya atau kecelakaan itu disebabkan oleh kesengajaan atau kebejatannya atau oleh cacat badan yang dengan sengaja diberi keterangan palsu pada waktu membuat perjanjian kepada majikan.[13]
Bila dalam hal demikian buruh berhak memperoleh suatu ganti rugi berdasarkan suatu peraturan undang-undang tentang hal sakit atau kecelakaan, atau menurut aturan pertanggungan, atau dari suatu dana yang telah dijanjikan atau lahir dari perjanjian kerja, maka jumlah uang upah itu harus dikurangi dengan jumlah uang ganti rugi termaksud. Buruh berhak menuntut jangka waktu pendek, yang ditetapkan menurut keadilan, bila ia, baik karena memenuhi kewajiban yang diletakkan padanya oleh undang-undang atau pemerintah tanpa penggantian berupa uang, dan tidak dapat dilakukan di luar waktu kerja, maupun karena mengalami kejadian-kejadian luar biasa di luar kesalahannya, terhalang melakukan pekerjaannya. Dalam pengertian kejadian luar biasa, untuk pasal ini, juga termasuk istri buruh melahirkan anak; pula meninggalnya dan penguburan salah seorang teman serumah atau salah seorang anggota keluarga dalam garis tak terbatas dalam garis ke samping derajat kedua.
Sedangkan dalam pengertian memenuhi kewajiban yang diletakkan oleh undang-undang atau Pemerintah, termasuk hal melakukan hak pilih. Jika upah berupa uang ditetapkan secara lain menurut jangka waktu, maka ketentuan-ketentuan pasal ini berlaku juga dengan pengertian, bahwa sebagai upah harus diambil upah rata-rata yang seharusnya dapat diperoleh buruh seandainya ia tidak berhalangan melakukan pekerjaan. Tetapi upah itu harus dikurangi dengan jumlah biaya yang telah dapat dihemat selama buruh tidak mengerjakan pekerjaan. Dari ketentuan pasal ini, orang hanya boleh menyimpang denga perjanjian tertulis atau suatu peraturan.
E.     Kewajiban buruh
1.      Buruh wajib melakukan pekerjaan yang diperjanjikan menurut kemampuannya dengan sebaik-baiknya.[14]
2.      Jika sifat dan luasnya pekerjaan yang harus dilakukan tidak dirumuskan dalam perjanjian atau reglemen, maka hal itu ditentukan oleh kebiasaan. Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya, hanya dengan izin majikan ia dapat menyuruh orang lain menggantikannya.[15]
3.      Buruh wajib menaati aturan-aturan pelaksana pekerjaan dan aturan-aturan yang dimaksudkan untuk perbaikan tata tertib perusahaan majikan yang diberikan oleh atau atas nama majikan dalam batas-batas aturan perundang-undangan, perjanjian atau reglemen, atau jika ini tidak ada, dalam batas-batas kebiasaan.[16]
4.      Buruh yang tinggal menumpang di rumah majikan wajib berkelakuan menurut tata tertib rumah tangga majikan.[17]
5.      Pada umumnya buruh wajib melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu yang dalam keadaan yang sama seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh seorang buruh yang baik.[18]

F.     Cara berakhirnya hubungan kerja karena perjanjian kerja
Hubungan kerja berakhir demi hukum, jika habis waktunya yang ditetapkan dalam perjanjian atau dalam peraturan undang-undang atau jika semuanya itu tidak ada, menurut kebiasaan. Pemberitahuan tentang pemutusan hubungan kerja dalam hal ini hanya diperlukan:[19]
1.      Jika hal itu dijanjikan dalam surat perjanjian atau dalam reglemen,
2.      Jika menurut peraturan undang-undang atau menurut kebiasaan, juga dalam hal lamanya hubungan kerja ditetapkan sebelumnya, diharuskan adanya pemberitahuan tentang pemutusan itu dari kedua belah pihak, dalam hal yang diperbolehkan, tidak mengadakan penyimpangan dengan perjanjian tertulis atau dengan reglemen.
Jika hubungan kerja, setelah waktunya habis sebagaimana diuraikan pada alinea pertama Pasal 1603e diteruskan oleh kedua belah pihak tanpa bantahan, maka hubungan kerja itu dianggap diadakan lagi untuk waktu yang sama. Dalam hal hubungan kerja yang diperpanjang itu akan berlangsung untuk waktu kurang dari enam bulan maka hubungan kerja tersebut dianggap diadakan untuk waktu tidak tentu, hanya dengan syarat-syarat yang sama. Ketentuan di atas berlaku pula jika dalam hal-hal tersebut pada alinea kedua Pasal 1603e, pemberitahuan pemutusan hubungan kerja tidak dilakukan pada waktu yang tepat. Dalam surat perjanjian atau dalam reglemen, akibat-akibat dari pemberitahuan pemutusan hubungan kerja yang tidak dilakukan tepat pada waktunya dapat diatur dengan cara lain, asal hubungan kerja diperpanjang untuk waktu sedikit-dikitnya enam bulan.[20]
Secara umum yang memutuskan hubungan kerja antara lain :
1.      Hubungan kerja berakhir dengan meninggalnya buruh.[21]
2.      Hubungan kerja berakhir dengan meninggalnya majikan, kecuali jika dari perjanjian dapat disimpulkan sebaliknya. Akan tetapi baik ahli waris majikan maupun buruh, berwenang memutuskan hubungan kerja yang diadakan dalam waktu tertentu dengan memberitahukan pemutusan sesuai dengan Pasal 1603 h dan 1603 i, seolah-olah hubungan kerja tersebut diadakan untuk waktu tidak tentu.[22]
Bagi majikan, yang dipandang sebagai alasan-alasan mendesak dalam arti pasal yang lalu adalah perbuatan-perbuatan, sifat-sifat atau sikap buruh yang sedemikian rupa, sehingga mengakibatkan, bahwa tidak pantaslah majikan diharapkan untuk meneruskan hubungan kerja. Alasan-alasan mendesak dapat dianggap ada, antara lain;[23]
1.      Jika buruh, waktu mengadakan perjanjian, mengelabui majikan dengan memperlihatkan surat-surat yang palsu atau dipalsukan, atau sengaja memberikan penjelasan-penjelasan palsu kepada majikan mengenai cara berakhirnya hubungan kerja yang lama;
2.      Jika ia ternyata tidak mempunyai kemampuan atau kesanggupan sedikit pun untuk pekerjaan yang telah dijanjikannya;
3.      Jika ia, meskipun telah diperingatkan, masih mengikuti kesukaannya minum sampai mabuk, mengisap madat di luar atau suka melakukan perbuatan buruk lain;
4.      Jika ia melakukan pencurian, penggelapan, penipuan atau kejahatan lainnya yang mengakibatkan ia tidak lagi mendapat kepercayaan dari majikan;
5.      Jika ia menganiaya, menghina secara kasar atau melakukan ancaman yang membahayakan majikan, anggota keluarga atau anggota rumah tangga majikan atau teman sekerjanya;
6.      Jika ia membujuk atau mencoba membujuk majikan, anggota keluarga atau anggota rumah tangga majikan, atau teman sekerjanya, untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan;
7.      Jika ia dengan sengaja atau meskipun telah diperingatkan, dengan sembrono merusak milik majikan atau menimbulkan bahaya yang sungguh-sungguh mengancam milik majikan itu;
8.      Jika ia dengan sengaja atau meskipun telah diperingatkan dengan sembrono menempatkan dirinya sendiri atau orang lain dalam keadaan terancam bahaya besar;
9.      Jika mengumumkan seluk beluk rumah tangga atau perusahaan majikan, yang seharusnya Ia rahasiakan;
10.  Jika ia bersikeras menolak memenuhi perintah-perintah wajar yang diberikan oleh atau atas nama majikan;
11.  Jika ia dengan cara lain terlalu melalaikan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh perjanjian;
12.  Jika ia karena sengaja atau sembrono menjadi tidak mampu melakukan pekerjaan yang dijanjikan. Janji-janji yang menyerahkan keputusan ke tangan majikan mengenai adanya alasan memaksa dalam arti Pasal 1603 n, adalah batal.
Bagi buruh, yang dipandang sebagai alasan-alasan mendesak dalam arti Pasal 1603 n adalah keadaan yang sedemikian rupa, sehingga mengakibatkan bahwa tidak pantaslah buruh diharapkan untuk meneruskan hubungan kerja. Alasan-alasan mendesak dapat dianggap ada. Antara lain:[24]
1.      Jika majikan menganiaya, menghina secara kasar atau melakukan ancaman yang membahayakan buruh, anggota keluarga atau anggota rumah tangga buruh, atau membiarkan perbuatan semacam itu dilakukan oleh anggota rumah tangga atau buruh lain bawahannya;
2.      Jika ia membujuk atau mencoba membujuk buruh, anggota keluarga atau anggota rumah tangga buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan atau membiarkan pembujukan atau percobaan pembujukan semacam itu dilakukan oleh anggota rumah tangga atau buruh lain bawahannya;
3.      Jika ia tidak membayar upah pada waktunya;
4.      Jika, dalam hal makan dan pemondokan dijanjikan, ia tidak memenuhinya secara layak;
5.      Jika ia tidak memberikan cukup pekerjaan kepada buruh yang upahnya ditetapkan berdasarkan hasil pekerjaan yang dilakukan;
6.      Jika ia tidak memberikan atau tidak cukup memberikan bantuan, yang dijanjikan kepada buruh yang upahnya ditetapkan berdasarkan hasil pekerjaan yang dilakukan;
7.      Jika ia dengan jalan lain terlalu melalaikan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh perjanjian;
8.      Jika ia, dalam hal yang tidak diwajibkan oleh sifat hubungan kerja, menyuruh buruh, meskipun buruh menolak, untuk melakukan pekerjaan di perusahaan seorang majikan lain;
9.      Jika hubungan kerja dapat menimbulkan bahaya besar yang mengancam jiwa, kesehatan, kesusilaan atau nama baik buruh, yang tidak melihat pada waktu pembuatan perjanjian;
10.  Jika buruh, karena sakit atau karena alasan-alasan lain di luar salahnya menjadi tidak mampu melakukan pekerjaan yang dijanjikan itu. Perjanjian yang menyerahkan keputusan ke tangan buruh mengenai adanya alasan mendesak dalam arti Pasal 1603 n, adalah batal.

G.    Perjanjian kerja atau perburuhan
Pasal 1601a KUH Perdata Perjanjian kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu yang tertentu.[25]
Jika suatu persetujuan mengandung sifat-sifat suatu perjanjian kerja dan persetujuan lain, maka baik ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian kerja maupun ketentuan-ketentuan mengenai persetujuan lain yang sifat-sifatnya terkandung di dalamnya, keduanya berlaku; jika ada pertentangan antara kedua jenis ketentuan tersebut, maka yang berlaku adalah ketentuanketentuan mengenai perjanjian kerja.

Apa yang sekarang dinamakan perjanjian kerja atau perburuhan dulunya diatur dalam paal-pasal 1601-1603 lama dari B.W., yang sejak tahun 1879 dinyatakan berlaku untuk golongan penduduk indonesia dengan nama “penyewaan pelayan”. Nama yang seperti ini sampai sekarang juga masih digunakan dalam code civil perancis dan civil code of philippines.
Ketika tahun 1927 diadakan suatu peraturan baru mengenai perjanjian perburuhan itu, yaitu sebagaimana yang sekarang ada dalam pasal 1601-1603z, peraturan baru ini tidak dinyatakan berlaku untuk orang indonesia, sehingga sejak itu ada dua peraturan. Yaitu, peraturan lama dan peraturan baru yang menimbulkan adanya hubungan antar golongan apabila buruh dan majkan dari golongan yang berlainan (misalnya WNA dengan WNI).
Persoalan golongan tersebut diberikan pemecahannya dalam pasal 1603x, yang menetapkan :
1.      Apabila si buruh adalah orang eropa, maka selalu berlaku peraturan baru
2.      Apabila si majikan orang eropa, namun si buruh bukan orang eropa, maka yang menentukan adalah macamnya pekerjaan yang akan dilakukan. Apabila pekerjaan itu biasanya dilakukan oleh orang eropa, maka yang berlaku adalah peraturan baru. Dan sebaliknya apabila pekerjaan tersebut biasa dilakukan bukan oleh orang eropa maka menggunakan peraturan yang lama.
Dalam peraturan baru (yang sangat panjang lebar) terdapat pasal-pasal yang bertujuan melindungi pihak pekerja (buruh) terhadap majikannya, misalnya banyak hal-hal yang dilarang untuk dimasukkan dalam perjanjian perburuhan (atas ancaman bahwa perjanjiannya batal), sedangkan kekuasaan hakim untuk campur tangan juga besar.
Selanjutnya, perlu diketahui pula bahwa kita undang-undang hukum dagang dalam bab ke IV dari buku II (pasal 395 dan selanjutnya) memberikan suatu peraturan tersendiri mengenai “perjanjian kerja laut”, yang disampingkan menyatakan berlakunya hampir semua ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian perburuhan dari B.W., memberikan banyak sekali ketentuan-ketentuan khusus untuk buruh yang bekerja dikapal. Kemudian, bab ke IV dari buku II K.U.H.D. tentang perjanjian kerja laut telah dinyatakan berlaku untuk orang indonesia, sehingga mengenai perjanjian kerja laut telah ada suatu kesatuan hukum.

H.    Perjanjian pemborongan pekerjaan
Perjanjian pemborongan kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu pemborong, mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yaitu pemberi tugas, dengan harga yang telah ditentukan.[26]
Jika pemborongan kerja diikuti dengan beberapa persetujuan sejenis itu, meskipun tiap kali dengan suatu selang waktu, atau jika pada waktu persetujuan dibuat, ternyata maksud kedua belah pihak membuat beberapa persetujuan secara demikian ialah supaya pemborongan-pemborongan itu dapat dipandang sebagai suatu perjanjian kerja, maka peraturan-peraturan mengenai perjanjian kerja harus berlaku bagi semua persetujuan ini, baik bagi semua persetujuan itu secara serempak maupun bagi masing-masing persetujuan secara sendiri-sendiri, kecuali ketentuan-ketentuan lain dalam KUHPer. Akan tetapi bila dalam hal demikian persetujuan yang pertama hanya diadakan untuk percobaan saja, maka persetujuan demikian harus dianggap mengandung sifat pemborongan kerja dan segala ketentuan berlaku baginya.[27]
Dalam perjanjian pemborongan pekerjaan dapat diperjanjikan bahwa pemborong hanya akan melakukan pekerjaan atau bahwa ia juga akan menyediakan bahan-bahannya.[28] Dalam hal pemborongan harus menyediakan bahan-bahannya, dan hasil pekerjaannya, karena apa pun juga, musnah sebelum diserahkan, maka kegiatan itu dipikul oleh pemborong kecuali jika pemberi tugas itu lalai untuk menerima hasil pekerjaan tersebut.[29]
Dalam hal pemborong hanya harus melakukan pekerjaan dan hasil pekerjaannya itu musnah, maka ia hanya bertanggung jawab atas kemusnahan itu sepanjang hal itu terjadi karena kesalahannya.[30] Jika musnahnya hasil pekerjaan tersebut dalam pasal yang lalu terjadi di luar kesalahan/kelalaian pemborong sebelum penyerahan dilakukan, sedangkan pemberi tugas pun tidak lalai untuk memeriksa dan menyetujui hasil pekerjaan itu, maka pemborong tidak berhak atas harga yang dijanjikan, kecuali jika barang itu musnah karena bahan-bahannya cacat.[31] Jika pekerjaan yang diborongkan itu dilakukan sebagian demi sebagian atau menurut ukuran, maka hasil pekerjaan dapat diperiksa sebagian demi sebagian; pemeriksaan itu dianggap telah dilakukan terhadap semua bagian yang telah dibayar, jika pemberi tugas itu membayar pemborongan tiap kali menurut ukuran dan apa yang telah diselesaikan.[32]
Jika sebuah bangunan yang diborongkan dan dibuat dengan suatu harga tertentu, seluruhnya atau sebagian, musnah karena suatu cacat dalam penyusunannya atau karena tanahnya tidak layak, maka para arsitek dan para pemborongnya bertanggung jawab untuk itu selama sepuluh tahun.[33]
Jika seseorang arsitek atau pemborong telah menyanggupi untuk membuat suatu bangunan secara borongan, menurut suatu rencana yang telah dirundingkan dan ditetapkan bersama dengan pemilik lahan, maka ía tidak dapat menuntut tambahan harga, baik dengan dalih bertambahnya upah buruh atau bahan-bahan bangunan maupun dengan dalih telah dibuatnya perubahan-perubahan atau tambahan-tambahan yang tidak termaksud dalam rencana tersebut jika perubahan-perubahan atau tambahan-tambahan itu tidak disetujui secara tertulis dan mengenai harganya tidak diadakan persetujuan dengan pemiliknya.[34]
Pemberi tugas, bila menghendakinya dapat memutuskan perjanjian pemborongan itu, walaupun pekerjaan itu telah dimuai, asal ia memberikan ganti rugi sepenuhnya kepada pemborong atas semua biaya yang telah dikeluarkannya untuk pekerjaan itu dan atas hilangnya keuntungan.[35]
Perjanjian pemborongan berakhir dengan meninggalnya pemborong. Tetapi pemberi tugas itu wajib membayar kepada ahli waris pemborong itu harga hasil pekerjaan yang telah selesai dan harga bahan-bahan bangunan yang telah disiapkan, menurut perbandingan dengan harga yang diperjanjikan dalam perjanjian, asal hasil pekerjaan atau bahan-bahan bangunan tersebut ada manfaatnya bagi pemberi tugas.[36] Pemborong bertanggung jawab atas tindakan orang-orang yang ia pekerjakan.[37]
Para tukang batu, tukang kayu, tukang besi dan tukang-tukang lainnya yang dipekerjakan untuk mendirikan sebuah bangunan atau membuat suatu barang lain yang diborongkan, dapat mengajukan tuntutan terhadap orang yang mempekerjakan mereka membuat barang itu, tetapi hanya atas sejumlah uang yang harus dibayarkan kepada pemborong pada saat mereka mengajukan tuntutan.[38]
Para tukang batu, tukang kayu, tukang besi dan tukang-tukang lainnya yang dengan suatu harga tertentu menyanggupi pembuatan sesuatu atas tanggung jawab sendiri secara langsung, terikat pada aturan-aturan yang ditetapkan dalam bagian ini. Mereka adalah pemborong dalam bidang yang mereka kerjakan.[39]
Para buruh yang memegang suatu barang milik orang lain untuk mengerjakan sesuatu pada barang itu, berhak menahan barang itu sampai upah dan biaya untuk itu dilunasi, kecuali bila untuk upah dan biaya buruh tersebut pemberi tugas itu telah menyediakan tanggungan secukupnya.[40]
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pelaut dan nakhoda diatur dalam kitab Undang-undang Hukum Dagang.[41]
I.       Contoh perjanjian kerja
Jakarta – Perayaan Hari Buruh masih terus dilakukan dengan aksi menuntut penghapusan kerja kontrak dan outsourcing. Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang berdemo yang di depan Istana Merdeka meminta bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyampaikan tuntutannya. Sekitar 200 orang dari SPSI, berdemo di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Selasa (3/5/2011). Mereka memakai seragam yang sama berwarna biru dengan lambang sebuah roda di bagian depan. Beberapa orang demonstran juga mengibarkan bendera SPSI. “Hidup kaum buruh! Hidup serikat pekerja! Buruh bersatu!” teriak para demonstran. Beberapa spanduk juga dibentangkan di depan Istana Merdeka bertuliskan “Buruh Berhak Dapat Jaminan dan Pensiun” selebar 2X3 meter dan “Hapus Kerja Kontrak dan Outsourcing”.
Analisis :
Dari contoh kasus di atas, dapat dilihat bahwa sampai detik ini buruh belum merasa sejahtera karena adanya praktek kerja kontrak dan outcourcing. Walaupun mereka sudah bergabung atau bersatu dalam serikat pekerja untuk menuntut hak mereka dari tahun ke tahun, pemerintah seperti menutup mata, hati dan telinga akan hal ini. Peristiwa demo buruh yang sering berlangsung ricuh menjadi suatu yang sudah biasa bagi pemerintah tanpa berniat untuk menghilangkan tindakan seperti ini. Oleh karena itu, dengan permasalahan buruh yang tidak kunjung usai, kita perlu mengkaji apa yang sebenarnya menjadi permasalahan penuntutan dari buruh di negeri ini. Dengan melihat secara nyata dapat diketahui bahwa ada pembedaan buruh kontrak atau outsourcing dengan karyawan tetap yaitu dengan menggunakan seragam yang dibedakan. Jika dikaji lebih dalam, pembedaan seperti ini merupakan bentuk tindakan deskriminasi atas buruh. Tuntutan buruh untuk penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing ini tidak terlepas dari peranan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan yang dianggap telah melegalisasi praktek outsourcing di Indonesia
Permasalahan buruh di Indonesia bahkan di dunia sampai saat ini belum teratasi dengan baik. Indonesia merupakan salah satu negara yang rakyatnya bekerja sebagai buruh. Untuk mengatasi permasalahan buruh ini, diperlukan untuk membuat hukum perburuhan. Hukum perburuhan adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur perihal hak kerja yang harus diindahkan semua pihak, baik pihak buruh atau pegawai maupun pihak majikan.Namun, Pemerintah Indonesia lebih dari itu, pemerintah bahkan telah membuat Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan untuk mengatasi polemik yang terjadi selama ini. Tetapi setelah berlakunya UU tersebut, membuat buruh yang berdemo setiap tahunnya semakin meningkat. Hal ini dikarenakan UU tersebut melegalkan praktek kerja kontrak dan outsourcing yang dinilai sangat merugikan para buruh.

Dalam UU No.13/2003, yang menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat). Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64 dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.” Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah: penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis (ayat 1); pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, seperti yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.      Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
2.      Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
3.      Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
4.      Tidak menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2)
Perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan hukum (ayat 3); perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan (ayat 4); perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam keputusan menteri (ayat 5); hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis antara perusahaan lain dan pekerja yang dipekerjakannya (ayat 6) hubungan kerja antara perusahaan lain dengan pekerja/buruh dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (ayat 7); bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat- syarat mengenai pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, dan syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan pemberi pekerjaan (ayat 8).
Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa pekerja dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain :
1.      Adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja;
2.      Perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak;
3.      Perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
4.      perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.
Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Dalam hal syarat-syarat diatas tidak terpenuhi (kecuali mengenai ketentuan perlindungan kesejahteraan), maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. Penentuan Pekerjaan Utama (Core Business) dan Pekerjaan Penunjang (Non Coree Business) dalam Perusahaan sebagai Dasar Pelaksanaan Outsourcing. Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 outsourcing (Alih Daya) dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Dari penjelasan di atas mengenai beberapa butir pasal yang berhubungan dengan oursourcing, dapat diketahui bahwa inilah faktor yang memicu para buruh menuntut penghapuasan pasal yang dianggap sebagai upaya dalam meningkatkan kesejahteraan. Dalam upaya mencapai kesejahteraan, buruh memiliki berbagai wacana tuntuntan kepada pemerintah ataupun perusahaan tempat mereka bekerja. Bukan hanya masalah kesejahteraan dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam hal hak asasi manusia. Dalam bidang ekonomi yang menjadi tuntutan mereka adalah dalam upah. Pada kenyataannya banyak buruh menerima upah dibawah standar yang ada, misal dibawah UMP atau UMR. Tentu saja upah ini tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Sedangkan dalam hal hak asasi manusia, yang menjadi tuntutan buruh adalah kebebasan berserikat, keselamatan dan kesehatan kerja, jaminan sosial, dsb.
BAB III
A.    Kesimpulan
Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya, menurut Sudikno Mertokusumo, perjanjian adalah subjek hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Perjanjian kerja dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, yang artinya perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu si buruh, mengikatkan dirinya dibawah perintah pihak yang lain, yaitu si majikan Untuk suatu waktu tertentu.
syarat sah suatu perjanjian kerja yaitu :
1.      Sepakat keduabelahpihakmengikatkandiri
2.      Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3.      Suatu hal tertentu
4.      Suatusebab yang halal
Unsur-unsur dalam suatu perjanjian kerja yaitu :
1.      Adanya unsur work(pekerjaan)
2.      Adanya unsur service(pelayanan)
3.      Adanya unsur time(waktu tertentu)
4.      Adanya unsur pay(upah)
B.     Penutup
Demikian makalah ini kami buat. Kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan subtansi materi pada makalah  ini sangat kami harapkan, semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembacanya dan bahan acuan dalam perkuliahan. Aamiin.


DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir, Muhammad. Hukum Perjanjian. Bandung : Alumni. 1980. 
Subekti. Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Subekti. Aneka perjanjian. Bandung : PT Citra Aditya Bakti. 1995.


[1] Subekti. Aneka perjanjian. (Bandung : PT Citra Aditya Bakti. 1995) hlm. 57-59
[2] Muhammad Abdulkadir. Hukum Perjanjian. (Bandung : Alumni. 1980)
[3] Pasal 1601d
[4] Pasal 1601e
[5] Pasal 1601f
[6] Pasal 1601g
[7] Pasal 1603 f.
[8] Pasal 1601h
[9] Pasal 1601i
[10] Pasal 1602
[11] Pasal 1602a
[12] Pasal 1602b
[13] Pasal 1602c
[14] Pasal 1603
[15] Pasal 1603a
[16] Pasal 1603b
[17] Pasal 1603c
[18] Pasal 1603d
[19] Pasal 1603e
[20] Pasal 1603f
[21] Pasal 1603j
[22] Pasal 1603k
[23] Pasal 1603o
[24] Pasal 1603p
[25] Pasal 1601a
[26] Pasal 1601b
[27] Pasal 1601c
[28] Pasal 1604
[29] Pasal 1605
[30] Pasal 1606
[31] Pasal 1607
[32] Pasal 1608
[33] Pasal 1609
[34] Pasal 1610
[35] Pasal 1611
[36] Pasal 1612
[37] Pasal 1613
[38] Pasal 1614
[39] Pasal 1615
[40] Pasal 1616
[41] Pasal 1617
 



0 komentar:

Posting Komentar