MAKALAH
Perbedaan Ijtihadiyah dalam Hukum Islam
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Filsafat Hukum Islam
Dosen
Pengampu : Dr. H. Abu Hapsin, Ph.D.
Disusun
Oleh :
Hafidz
Cahya Adiputra (122211002)
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
Dalam sejarah pemikiran Islam, ijtihad telah banyak
digunakan. Hakikat al-Qur’an dan Hadis memang menghendaki diadakannya ijtihad.
Dari ayat al-qur’an yang jumlahnya 6300, hanya kurang lebih 230-500 ayat,
menurut perkiraan ulama, yang berhubungan dengan akidah, ibadah dan muamalah.
Ayat-ayat tersebut pada umumnya ajaran dasar tanpa penjelasan lebih lanjut
mengenai maksud, rincian pelaksaan dan sebagainya. Untuk itu ayat tersebut
perlu di jelaskan oleh para ulama’ yang mengetahui al-Qur’an dan Hadis, yaitu
pada mulanya Nabi dan diteruskan oleh para generasi sahabat (Nasution,
1996:108).
Untuk itu dalam memahami serta mengembangkan nilai ajaran
Islam diperlukan suatu metodologi yang diharapkan mampu memberikan interpretasi
yang aplikabel terhadap sumber ajaran pokok Islam dalam realitas keum muslimin.
Metode yang dimaksud bersumber pada usaha ijtihad, yang oleh Muhammad Iqbal
dianggap sebagai The principle of the movemen dalam gerakan pemikiran
Islam (Iqbal, 1989: 117). `
Jika Islam tidak mempunyai konsep ijtihad, maka menurut
munawir Sjadzali (1997: 4) Islam seperti yang dimengerti oleh umatnya sekarang
ini tidak dapat diharapkan mampu memberikan sumbangan kepada peradaban dunia di
zaman dimana kita hidup sekarang ini. Karena ijtihad merupakan sebuah media
elementer yang sangat besar peranannya dalam konstruksi hokum-hukum yudisial
Islam (fiqh). Tanpa peran ijtihad, mungkin saja kosintruksi hukum Islam
tidak akan pernah berdiri kokoh seperti sekarang ini, dan ajaran Islam tidak
akan mampu menjawab tantangan zaman dengan berbagai macam problematikanya.
Dengan demikian ijtihad merupakan sebuah keniscayaan dalam Islam.
Namun harus pula diakui bahwa ijtihad merupakan factor utama
pemicu perbedaan pendapat dan kontradiksi hukum (khilafiyah) para
ulama’. Pertentangan yang selama ini berlangsung dikalangan yuris Islam (fuqoha’)
misalnya, akibat perbedaan metodologi ijtihad yang mereka gunakan. Dalam
makalah sederhana ini penulis akan menyampaikan beberapa hal-hal diantaranya
adalah;apa sesungguhnya ijtihad itu? Apa persyaratan yang harus dipenuhi oleh
mujtahid?BagaimanaAbsolutisasi dan deabsolutisasi hasil ijtihad? Dan apakah
ijtihad itu dapat dianulir?Serta contoh ijtihad yang dilakukan sahabat pada
masa Nabi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Makna
Ijtihad dan persyaratan non Skill sebagaiMujtahid
2.
Absolutisasi dan Deabsolutisasi Hasil Ijtihad
3. Naqdul Ijtihad
4. Perbedaan Ijtihadiyah di Kalangan
para Sahabat pada masa Nabi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makna
Ijtihad dan persyaratan non Skill sebagaiMujtahid
1.
Definisi
ijtihad
Konsep ijtihad sebenarnya melekat pada kitab-kitab fiqh
(Azizy, 2004: 67). Sangat mengada-ada ketika berbicara tentang fiqh
tanpa menyertakan proses memproduksi, karena fiqh adalah produk jadi,
proses itulah yang dinamakan ijtihad.
Ditelisik dari sisi etimologi, ijtihad merupakan bentuk dari kata benda
dari konjungsi (tasyrif) kata ijtihada-yajtahidu-ijtihadan yang
mengandung pengertian usaha keras dan pengerahan segala kemampuan untuk
mencapai maksud tertentu (Haq, 2009: 8).
An-Na’im (1990: 45), penggunaan ijtihad dalam pengertian
umum relevan dengan interpretasi al-Quran dan sunnah. Ketika suatu prinsip atau
aturan syari’ah didasarkan pada makna umum atau implikasi yang luas dari suatu
teks al-Qur’an dan sunnah berbeda dengan aturan langsung dari teks yang jelas
dan terinci, maka teks dan prinsip syari’ah itu harus dihubungkan melalui
penalaran hukum. Dari sisi ini jelaslah bahwa bahwa ijtihad adalah konsep
fundamental dan sangat aktif dalam pembentukan hukum Islam. Asy-Syaukhani
mendefinisikan ijtihad dengan; badlu al-wus’I fi nayli hukmin syar’iyin
‘amaliyyin bi tariqi al-istinbath (Pengerahan kemampuan dalam memperoleh
hokum syariat ‘amaliyah dengan cara istinbath)” (Asy-Syaukhani, tt: 250)
Menurut ulama’ ushul biasanya memberi definisi ijtihad
dengan; badzl al-juhd li al-wusulil al-hukm al-syar’iy min dalil tafshiliy
min al-adillah al-syariyyah (mencurahkan daya upaya untuk sampai pada
[menemukan] hokum syariy dari dalil yang spesifik dari dalil-dalil syar’iy)
(Khallaf, 216). Sedangkan definisisi yang diberikan oleh al-alamah Khudhory
bekIjtihad adalah: mencurahkan kemampuan untuk mengistinbathkan hokum syar’I
dari apa yang dipandang pembuat syara’ sebagai dalil yaitu kitab Allah dan
Sunah Nabi-Nya. Bentuknya ada dua macam, pertama, mengambil hokum dari
bentuk lahir nash, apabila hokum bisa didapat dari nash-nash itu. Kedua,
mengambil hokum dari rasionalitasnya, apabila dalam nash itu ada ‘illat jelas
atau diistinbathkan darinya. Peristiwa dimaksud terdapat dalam ‘ilat ini dan
nash tidak mencakup hukumnya. Ini dikenal dengan nama qiyas (Bek, [a]66).
Dari uraian diatas maka ijtihad mengandung dua faktor; Pertama,
ijtihad yang khusus untuk menetapkan suatu hukum dan penjelasannya.
Pengertian ini adalah pengertian ijtihad yang sempurna, dan dikhususkan bagi
ulama’ yang bermaksud untuk mengetahui ketentuan-ketentuan hukum furu’amaliyah
dengan menggunakan dalil-dalil terperinci. Sebagian ulama’ telah
menjelaskan bahwa ijtihad dalam pengertian dan bentuk yang khusus pada suatu
masa akan terputus (kosong). Demikian menurut jumhur ulama’. Sementara ulama’
Hambali mengatakan bahwa setiap masa tidak boleh kosong dari ijtihad dalam
bentuk ini. Karena iti setiap masa harus selalu ada mujtahid yang harus
mencapai tingkatan tersebut.
Kedua, ijtihad
khusus untuk menerapkan dan mengamalkan hukum. Seluruh ulama’ sepakat bahwa
setiap masa tidak akan terjadi kekosongan dari mujtahid dalam katagori ini. Mereka
inilah yang akan mencari dan menerapkan illat terhadap berbagai kasus
juz’iyah, dengan menerapkan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan ulama’ dahulu
(Zahrah, 568).
Beberapa pengertian tersebut menurut Harun Nasution (1996:
108-109),arti ijtihad seperti yang dikemukakan di atas adalah ijtihad dalam
arti sempit. Sedangkan dalam arti luas menurutnya, ijtihad juga berlaku pada
bidang selain hukum Islam, misalnya Ibnu Taimiyah yang menjelaskan bahwaijtihad
juga digunakan dalam lapangan tasawuf, ia mengatakan “sebenarnya kaum sufi
adalah mujtahid-mujtahid dalam masalah kepatuhan, sebagaimana mujtahid-mujtahid
lain”, dan sebenarnya kaum sufi di Basrah dalam masalah ibadah dan hal ihwal
ini adalah mujtahid-mujtahid, seperti halnya dengan tantangan mereka di Kufah
yang juga mujtahid-mujtahid dalam masalah hukum, politik, aqidah tasawuf,
falsafah, dan tata negara.
Dengan tugas penerapan tersebut, maka akan menjadi jelaslah
ketentuan hukum-hukum tentang masalah yang tidak dikenal oleh ulama’ terdahulu
yang dikategorikansebagai mujtahid tingkat pertama.Oleh sebab itu ada beberapa
persayaratan yang harus dimiliki oleh mujtahid untuk dapat melaksanakanijtihad.
2.
Persyaratan
Non Skill Sebagai Mujtahid
Mujtahid adalahadalah seorang ahli fiqih yang mengeluarkan segala
kemampuannya untuk sampai pada hukum syariat. Ia harus memiliki kemampuan
sebagai acuan untuk melahirkan hukum-hukum syariat dari pendekatannya.
Berdasarkan pengertian ini, orang yang memiliki pengetahuan terhadap
hukum-hukum syariat nemun tidak mampu untuk melahirkan kesimpulan hukum dari
dalil-dalil yang ada tidak bisa disebut sebagai mujtahid. Dalam Islam seorang
mujtahid memiliki kedudukan yang tinggi. Ia berdiri menggantikan posisi Nabi
Muhammad saw, karena ia memiliki ilmu kenabian, menyampaikannya kepada umat
manusia, dan menjadi seorang yang memberikan pengajaran dan petunjuk kepada
mereka (al-Syarafi, 1998: 28-29).
Oleh karena itu untuk menghindari kesalahan dan jebakan
dalam berijtihad dibutuhkan kejujuran intelektual, ikhlas dan memiliki pengetahuan
yang cukup tentang seluk beluk masalah ijtihad. Paling tidak calon mujtahid
harus dengan jelas mampu membedakan dimana ia seharusnya berijtihad (Rahmat,
1996: 180).Dalam hal ini, sebagian ulama’ sangatketat menerapkan syarat-syarat
ijtihad, meski sebagian yang lain cukup longgar. Dan sebagian lagi ada yang
mengambil jalan tengahnya. Namun demikian, syarat-syarat yang mereka ajukan
secara umum mengajak kembali pengetahuan yang lebih orisinil tentang
sumber-sumber dan tujuan syariat (al-Syarafi, 1998: 30).Masalah ijtihad
sebenarnya bukan masalah mau atau tidak mau, persoalan mampu dan tidak mampu.
Memaksa orang yang tidak mampu berijtihad mengundang bahaya, sebab untuk
melakukan ijtihad seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu yeng bisa
membawa ke derajat mujtahid.
Muhammad Musa Towana dalam Amir Mu’alim (2004: 58),
mengelompokkan Syarat-syarat ijtihad ke dalam beberapa bagian. Pertama, persyaratan
umum (al-syurut al-‘ammah), yang meliputi; (1) Baligh (2) Berakal sehat
(3) Kuat daya nalarnya (4) beriman atau mukmin.
Kedua, persyaratan
pokok (al-syurut asasiyyah)yaitu syarat-syarat mendasar yang menuntut
mujtahid supaya mujtahid memiliki kecakapan sebagai berikut; (1) mengetahui
al-qur’an (2) memahami sunnah (3) memahami maksud-maksud hokum syariah, dan (4)
mengetahui kaidah-kaidah umum (al-qawaid al-kulliyah) hukum Islam.
Ketiga, pernyaratan
penting (al-syurut al-hammah) yakni beberapa persyaratan yang penting
dipunyai mujtahid. Syarat-syarat ini mencakup; (1) menguasai bahasa Arab, (2)
menguasai ilmu ushul fiqh (3) mengetahui ilmu mantik atau logika, dan
(4) mengetahui hokum asal suatu perkara (al-bara’ah asliyah).
Keempat, persyaratan pelengkap (al-syurut al-takmiliyah) yang
mencakup; (1) tidak ada dalil qahtiy bagi masalah yang ijtihadi (2) mengetahui hilafiyah
atautempat tempat perbedaan dan (3) memelihara kesalehan dan ketaqwaan diri.
Menurut para sarjana ushul fiqh hanya orang-orang
yang memiliki persyaratan tersebut-lah yang berhak menyandang predikat
“Mujtahid”. Kreteria ideal ini merupakan rumusan yang diangkat sesuai dengan
beban ijtihad yang cukup berat itu. Oleh karenanya, kriteria-kriteria di atas
adalah kriteria untuk seorang mujtahid mutlaq dan bukan mujtahid pada umumnya.
Namun setidaknya, mujtahid-mujtahid yang bukan mujtahid mutlaq, juga harus
mempunyai kualifikasi kemampuan yang mengacu pada kriteria-kriteria di atas.
al-Syatibi (w. 790H), untuk mecapai ke derajat mujtahid,
seorang fakih harus memiliki dua sifat; 1) mampu memahami maksud-maksud syariat
(maqasyid asy-syariah) dan 2) sanggup mengistinbahkan hukum berdasarkan
pemahamannya sendiri terhadap maqasyid asy-syariah tersebut (Syatibi,
t.t [IV]: 89).
Pembagian dan penjelasan tentang ijtihad yang dikemukakan
al-Syatibi di atas, Nampak jelas bahwa
syarat mujtahid harus memenuhi kuwalifikasi yakni al-masalih al-mursalah
yang didefinisikan sebagai metode ijtihad yang diberlakukan ketika sesuatu
masalah tidak ada sumber nasnya dalam syariat, dalam hal ini jika juga tidak
ada sumbernya dari ijma dan selainnya semisal qiyas. al-Masalih al-Mursalah (selanjutnya disebut maslahah)
sebenarnya telah dipraktekkan sejak masa Nabi saw. Hal ini, telah banyak
dilakukan oleh para sahabat, dan Nabi saw sendiri membenarkannya. Secara
tekstual sahabat telah menyalahi syara’, sebab telah melakukan di luar
ketentuan.
Menurut al-Syatibi, maslahat yang merupakan tujuan Tuhan
dalam syariatnya itu mutlak diwujudkan sebab keselamatan dan kesejahteraan
tidak akan mungkin dicapai tanpa mashalah terutama yang bersifat dharuriyah dan
meliputi lima hal, yakni; pemeliharan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta. Selanjutnya, al-Syatibi menegaskan bahwa maqashid al-syari’ah
yang bila dikaitkan dengan kemaslahatan, maka dapat dilihat dari dua aspek.
Pertama, tujuan Tuhan (maqashid al-syari’) dan kedua tujuan mukallaf (maqashid
al-mukallaf).
Persyaratan-persyaratan tersebut memang tidak ada dalam nash
al-Qur’an maupun sunnah. Hal ini semata-mata digariskan oleh para ulama’
sebagai hal yang mutlak perlu menurut akal sehat, dan juga mengambil teladan
dari para imam besar, para mujtahid dimasa lalu. Agar dengan demikian dapat
mencegah banyak orang yang ingin memasukkan dirinya dalam barisan mujtahid,
padahal kemampuan maupun kepribadiannya masih jauh untuk meraih kedudukan mulia
itu.
Oleh karena itu, menurut Qodri Azizy syarat-syarat ijtihad
di atas terlampau berat perlu dikaji ulang, karena menurutnya hampir tidak
mungkin tersentuh untuk masa kini. Demikian pula beban yang terlalu berat dan
tuntunan yang terlalu tinggi ketika melakukan ijtihad juga perlu di luruskan.
Sebab dalam kenyataannya, setiap kitab fiqh, meskipun kitab yang sangat
sederhana, selalu pula menyebut ijtihad untuk syarat seorang hakim. Dan kalau
kita lihat sejarahnya, sebelum abad ke tiga hijriyah syarat-syarat ijtihad yang
begitu ketat belum muncul. Jadi terjadi paradoks. Hal ini menurut Azizy perlu
kajian mendalam dan sekaligus keberanian untuk meredefinisikan ijtihad untuk
kemudian memunculkan konsep ijtihad baru atau modern. Beliau menyarankan
Ijtihad hendaknya menjadi sebuah formulasi metodologi yang dapat dibentuk
sebagai hasil kajian kritis terhadap konsep berijtihad secara konvensional yang
dipadukan dengan tuntutan zaman dan pertanggung jawaban tradisi akademik. Oleh
karena itu, formulasi ijtihad baru juga sudah menjadi tuntutan untuk dibangun.,
yang tentu tidak dapat langsung lepas sama sekali dari proses continuity dari
berijtihad masa lalu. Formulasi ini juga diperlukan bagi mereka yang akan
menghasilkan gelar akademik tertinggi, sehingga akan mampu mendemonstrasikan
karya orisinilnya[1][1][1] (Azizy, 2004: 108-110).
sedangkan, menurut al-Bagirselain keempat jenis persyaratan
diatas yang digolongkannya kedalam pesyaratan teksnis. Al-Baqir juga
menambahkan persyaratan non skill (kepribadian). Mengenai persyaratan
ini acap kali diabaikan sehingga kita sering melihat orang-orang yang mungkin
tinggi kadar ilmunya, namun kepribadiannya lemahdan akhlaq-nya buruk, sehingga
ilmunya itu tidak dapat diharapkan untuk pembimbing umat dan membawa rahmat
bagi manusia. Mengutip pendapat al-alamah Abu Zahrah, al-Baqir menyebutkan
beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang munjtahid, antara lain;
Pertama,kecerdasan dan kearifan. Dengan ini ia mampu menggunakan
ilmu-ilmu teknisdi atas sebagai alat yang memilahkan antara pendapat-pendapat
yang benar dan yang palsu, yang tepat dan yang menyimpang dari tujuan syariat.
Selanjutnya kan memudahkan menyimpulkan hokum-hukum yang benar dari dalil-dalil
dan kaidah-kaidah yang umum yang dapat diterapkan pada peristiwa kasus yang
muncul. Semuanya itu disertai dengan kearifan dan kebijakan sehingga tidak akan
menimbulkan keresahan umat dan menyebabkan mereka terombang ambing dalam
kebingungan.
Kedua, Niat
yang tulus dan itikad yang baik.Niat yang tulus menjadikan hati diterangi nur
Allah SWT sehingga mampu menembus inti agama yang penuh hikmah ini. Bila
tujuannya hanyalah hakiakat agama semata-mata, taka da tujuan apa pun selain
itu, pastilah Allah akan mengarunianya cahaya hikmah yang akan senatiasa
membimbingnya di jalan kebenaran dan menjauhkannya dari jalan kesesatan. Sebab,
syariah adalah nur yang tidak aka nada yang bisa meraihnya kecuali siyapa yang
hatinya dipenuhi keikhlasan. Itulah sebabnya kita senantiasa menyaksikan para
imam besar yang telah mewariskan ilmu-ilmu yang luas serta mendalam sebelum
dikenal sebagai ahli-ahli fiqh mereka dikenal secara luas dengan sifat wara’
kelurusan pribadi dan kejujuran intelektual. Ia tidak akan bersikap fanatic
dalam mempertahankan pendapat kelompoknya lalu memaksakan kelompok lain untuk
mengikuti pendapat tersebut sebagai kebenaran mutlak, sementara pendapat lain
semua salah.Para imam besar pada masa lalu berkata “pendapat kami benar namun
mengandung kemungkinan salah, sedangkan pendapat orang lain salah namun
mengandung kemungkinan benar” (al-Baqir, 1996: 166-167).
Untuk mengakhiri kajian terhadap syarat-syarat ijtihad ini,
penulis mengemukakan pernyataan Kemal Faruki(1994: 86), tentang hal-hal yang
harus dimiliki seseorang agar dapat memiliki kemampuan untuk melakukan
pemahaman secara benar, dia menyatakan; “The Qur’an stresses three factor
making for ability to understanding trucht. First, and foremost, is amanator
trustworthiness and character, which is not susceptible of being determined by
any external formula, let alone by an academic degree. The second, is knowledge
of Islamic subjects. The third, is comparative knowledge of comparative system,
people and institution.”(al-Quran menekankan tiga factor—yang harus
dimiliki seseorang—agar mampu melakukan pemahaman secara benar. Pertama dan
yang terpenting adalah amanat, atau dapat dipercaya. Sifat ini tidak cukup
hanya dibuktikan dengan eksternal formula—kemampuan hitam diatas putih—apabila
dengan gelar akademik. Kedua, pengetahuan tentang masalah-masalah keislaman.
Ketiga memiliki perbandingan pengetahuan dengan system, orang, dan institusi
lainnya).
Dari pernyataan Faruki tersebut dapat dianggap sebagai “syarat
ijtihad” yang sederhana dan global, serta tidak bersifat “formal-tekhnis”.
Persyaratan tersebut tidaklah harus dimiliki secara individual saja melainkan
beberapa orang sesuai dengan disiplin kemampuan masing-masing sebagaimana yang
sudah di-langsir oleh Prof. Qodri Azizy yakni ijtihad secara mawdhu’iy.
B.
Absolutisasi dan Deabsolutisasi Hasil Ijtihad
Pada dasarnya ajaran Islam dapat dibedakan menjadi dua
kelompok. Pertama, ajaran Islam yang bersifat absolut, universal dan
permanen, tidak berubah dan tidak dapat diubah. Kedua, ajaran Islam yang
bersifat ralatif, tidak universal, tidak permanen, melainkan dapat diubah dan
berubah. Termasuk kelompok yang kedua ini adalah ajaran Islam yang dihasilkan
melalui proses ijtihad. Kerangka berfikir ini sering muncul dikalangan ahli
ushul fiqh dan pakar pembaharuan dalam Islam. Di kalangan ahli Ushul fiqh
dikenal dikotomi antara dalil qath’iy dan dzanny baik
eksistensinya (wurud) maupun penunjukannya (dalalah) (Jamil,
1999: 43).
Para ahli hukum Islam sepakat mengenai penggunaan al-Qur’an
sebagai sumber hokum yang pertama yang utama dalam menentukan dan mengambil
kesimpulan hukum. Mereka tidak meragukan eksistensi al-Qur’an dari ayat yang
pertama sampai ayat yang terakhir diturunkan. Akan tetapi ayat al-Qur’an
langsung menunjuk pada materi hokum yang terbatas jumlahnya.Menurut Khallaf
(34-35), bahwa yat hokum dalam bidang muamalah berkisar antara 230-250 ayat.
Selebihnya terbagi kedalam beberapa aspek. Dari jumlah ayat hokum yang sedikit
tersebut, ulama’ ushul juga ternya masih terjadi diskursus.apakah ayat
yang qath’iy al-wurud boleh dilakukan ijtihad atau tidak?
Menurut ulama’ ushul seperti;Asy-Saukani, Khudhary
Beik, Abu Zahrah Abd Wahab Khallaf dan lain sebagainya sepakat bahwa nash yang qath’iy
tidak ada celah untuk melakukan ijtihad. Lebih lanjut Khallaf menandaskan
bahwa apabila kasus yang hendak diketahui hukumnya telah ada dalil yang sarih,
dan qath’iy dari segi sumbernya dalam pengertiannya yang menunjukkan
atashokum syar’inya, maka tidak ada peluang untuk berijtihad didalamnya. Yang
wajib adalah melaksanakan pengertian yang ditunjuki nash tersebut. sebab
sepanjang dalil itu qath’iy kedatangannya dan keluarnya dari Allah dan
rasulnya bukanlah tempat suatu pembahasan dan pencurahan jerih payah. Dan
sepanjang dalil itu dhalalahnya qath’iy maka dalahnya terhadap maknanya
dan pengambilan hokum dari nash tersebut, bukanlah suatu tempat suatu
pembahasan dan ijtihad. Berdasarkan hal ini maka ayat-ayat hokum yang
interpretative yang menunjukkan terhadap maksudnya dengan pengertian yang jelas
dan tidak mengandungkemungkinan pentakwilan maka ia harus diterapkan. Dan tidak
ada peluang untuk berijtihad dalam kasus-kasus yang menerapkannya (Khallaf,
338). Contoh dalam kasus hukuman cambuk
bagi pelaku zina; “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera…….” (QS. An-Nur: 2). Tak
ada tempat berijtihad lagi tentang hokum menyiksa penzina dengan cambuk dan
bilangan kali cambukan. Demikian juga taka da ijtihad terhadap hokum-hukum
siksa yang sudah diberi batas. Dan seperti ayat yang mufassar lagi muhkam.
Demikian juga sunah-sunah mutawatir lagi mufassar (Ash-Shiddieqy: 1997:
129).
Berbeda dengan Muhammad Syahrur—seorang insinyur dari
Syria—memperkenalkan teori “hudud” (bentuk jamak dari kata had yang
secara etimologi berarti batas) dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Menurutnya
al-qur’an yang mempunyai ayat qath’iy masih berlaku lapangan ijtihad
didalamnya. Ia menyebutkan 6 macam teori hudud yaitu; (1) al-had
al-adna (disebutkan batas minimalnya); (2) al-had al-‘ala (Batas
maksimalnya); (3) al-had al-adna wa al-had al-a’la ma’an (batas minimal
dan maksimal, keduanya disebutkan); (4) al-had al-adna wa al-had al-‘ala
nuqtah wahidah (disebut batas minimal dan maksimalnya bertemu dalam satu
titik); al-had al-a’la bi khatt muqarib li mustaqim (tidak sampai batas
maksimal dan tidak menyentuh batas minimalnya); dan (6) al-had al-a’la mujib
muqhlaq la ajuz tajaawuzuh, wa al-had al-adnaa saalib yaa juz tajawuzuh(batas
maksimal positif dan batas minimal negative, serta keduanya bertemu di titik
tengah) (Syahrur, 1990: 453-466).
Syahrur mencontohkan, misalnyadalam hal waris dan hukuman
bagi pencuri. Ketentuan potong tangan sebagaimana terekam dalam QS al-Maidah
[5]: 38,merupakan al-had al-a’la (batas maksimal). Karena itu tidak
boleh memberikan hukuman melebihi dari potong tangan, tetapi memungkinkan
memberikan hukuman yang lebih ringan dari itu. Dalam hal ini mujtahid boleh
berijtihad menentukan hukuman bagi pencuri sesuai dengan situasi dan kondisi
yang dihadapinya. Disini, bentuk modus operandi, motivasi dan nilai
barang yang dicuri harus menjadi bahan pertimbangan dalam memberikan hukuman
(ibid, 455).Sebagaimana ijtihad umar bin khatab dalam menghukum pencuriyang
pada masa itu terjadi kelaparan dalam masyarakat di semenanjung Arabia. Dalam
keadaan masyarakat ditimpa oleh bahaya kelaparan tersebut, ancaman hukuman
terhadap pencuri yang disebut dalam al-Qur’an tidak dilaksanakan oleh khalifah
umar berdasarkan pertimbangan (darurat) dan kemaslahatan jiwa masyarakat(Ali, 2006:
176).
Teori hudud versi syahrur tersebut menunjukkan, bahwa
nash al-Qur’an yang menurut ushuliyyun yang diyakini sebagai ayat qathiy
ternyata masih dapat dilenturkan maknanya. Dengan teori hudud ini, mengakui
keberadaan nash qathiy al-dalalah berikut konsekuensinya menjadi tidak
relevan lagi. Hal ini berarti juga merontokkan anggapan bahwa ijtihad tidak
boleh menyentuh nash qaht’iy. Tidak dapat diterima.
Apabila dilacak dari sejarah pemikiran hokum Islam,
pemikiran yang lebih menekankan pada nilai universal yang dikandung nash
sebagai mana uraian diatas, disadari atau tidak disadari terinspirasi oleh oleh
pemikiran (baca: ijtihad) Umar bin Khattab, yang secara terang terangan berani
menyimpang dari bunyi verbal nash yang selama ini dianggap qath’iy dalalah-nya.
Diantara contoh ijtihad Umar tersebut adalah: Pertama, menghilangkan
hukuman potong tangan bagi pencuri pada musim paceklik.Hal demikian tidak
sejalan dengan bunyi nash (QS. [5]: 38).Kedua, menghilangkan bagian
zakat bagi muallaf qulubuhum (orang yang masih lemah imannya). Berkaitan
dengan hal ini KhalifahUmar bin Khattabmengijtihadkan dan berseberangan dengan
nash dalam kasus orang muallafpada waktu itu tidak diberi zakat. Padahal
dalam al-Qur’an surat at-taubah: 60, Allah berfirman;“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang,
untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu
ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Ayat diatas menyebutkan bahwa pembagian zakat sudah
ditetapkan golongan-golongan yang berhak menerima zakat, termasuk muallaf di
dalamnya, yaitu (diantaranya) orang-orang yang baru memeluk agama Islam yang
seyogyanya dilindungi karena masih lemah imannya dankarena ia memeluk agama
Islam hubungannya dengan keluarganya (mungkin) terputus. Pada zaman
rasulullahgolongan ini memperoleh bagian zakat. Akan tetapi masa khalifah Umar
bin Khattab, beliau menghentikan pemberian zakat kepada muallaf berdasarkan
pertimbangan bahwa Islam telah kuat, umat Islam telah banyak sehingga tidak
perlu lagi diberikan keistimewaan kepada golongan khusus dalam tubuh umat Islam
(Ali, 2006: 176).
Dari fenomena tersebut, mununjukkan hasil dari suatu ijtihad
sangat dipengaruhi oleh kondisi dan situasi dimana hukum tersebut dirumuskan.
Hal tersebut mengakibatkan proses ijtihad yang dilaksanakan sering menghasilkan
rumusan yang bervariasi ketika konteks persoalan yang timbul berbeda. Sebagai
sebuah produk ijtihadi, hukum yang ditetapkan bukanlah sesuatu yang sakral dan
menutup pintu perbedaan maupun perubahan. Dengan demikian ijtihad memberikan
kemungkinan epistemologis bagi pembaharuan hukum Islam karena ia memuat dua
konsep. Pertama mengeluarkan hokum dari sumbernya, dan kedua, tatbiq
yakni mengaplikasikan hokum dari kasus-kasus yang actual untuk suatu
kebutuhan historis tertentu (Musahadi, 2012: 36).
Maka dari itu, bahwa kaidah “Laa masaagho li al-ijtihad
fiimaa fiihi nasun sharihun qath’iyyun (tidak ada kebolehan berijtihad
mengenai sesuatu yang padanya ada nash yang jelas dan qath’iy) (Khallaf,
338). Telah membuat jurang pemisah yang dalam antara nash dan ijtihad. Artinya
mereka meyakini bila ada nash qath’iy maka ijtihad sama sekali dilarang.
Sebaliknya peran dan potensi ijtihad baru diakui jika tidak ada nash qath’iy
membuat hubungan yang antagonistis antara nash dan ijtihad seperti
ini, tidaklah sejalan dengan maksud Tuhan menurunkan wahyu-Nya. Hubungan
keduanya harus diubah menjadi interaktif-komplementatif atau dalam
istilah lain “ta’alluq al-talaazum wa al-musaahabah” (saling melengkapi
dan membutuhkan). Maksudnya agar suatu nash bermakna aplikatif dan
ijtihad juga memerlukan nash sebagai obyek sasarannya. Kebutuhan terhadap
ijtihad ini juga bukan hanya berlaku bagi nash-nash yang dzanny melainkan
juga nash yang qathiy al-dhalalah-nya. Oleh karena itu, menurutSupena
dan Fauzi (2002:279)kaidah tersebut perlu diubah menjadi “kull al-nas majaal
al-ijtihad walaw kana sarihan qath’iyya al-dalalah inda ushuliyyun”(setiap
nash adalah menjadi garapan ijtihad, meskipun nash tersebut menurut ushuliyyun
dikatagorikan qath’iy dalalah-nya).
Sebagai konsekuensi logis atas ijtihad ini menurutal-Jarhazi(1997:
292), terdapat dua kemungkinan yang kan timbul kemudian. Pertama,jika
ijtihad tersebut sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah SWT; ijtihad yang
benar, maka pelaku ijtihad akan memperoleh dua pahala, yakni pahala ijtihad dan
pahala menggapai kebenaran. Kedua, jika ternyata hasil ijtihad itu tidak
sesuai dengan yang dikehendaki Allah SWT; ijtihad yang slah, maka hanya
memperoleh satu pahala, yakni pahala ijtihad saja. Hal tersebut didasarkan
kepada Sabda Rasulullah saw; “idza hakama al-haakim fajtahid fa ashoba
falahu ajrani, wa idza hakama fajtahid fa akhto’ falahu ajroni” (seorang
hakim apabila berijtihad kemudian ternyata ijtihadnya benar, maka ia mendapat
dua pahala apabila ia berijtihad dan ternyata keliru (tidak mencapai kebenaran)
maka ia mendapat satu pahala) (HR. Bukhari)
Ada perbedaan pendapat dalam menafsirkan hadis tersebut,
apakah seorang mujtahid diberi pahala apabila ijtihadnya salah. Sejumlah ulama’
berpendapat bahwa orang yang ijtihadnya salah tidak mendapatkan pahala, karena
kesalahan tidak akan pernah mendapatkan imbalan pahala. Ia hanya cukup diberi
ampunan penghapusan dosa kesalahannya (Karim, 1984: 41-42).Sebagian mujtahid
dapat mencapainya, maka ia dikatakan yang mencapai kebenaran dan ia akan
mendapat dua pahala. Sebagian lagi tidak dapat mencapai kebenaran dan ia akan
mendapat satu pahala; pahala ini karena ijtihadnya, bukan karena kekeliruannya.
C.
Naqdul Ijtihad
Ketika seorang mujtahid melakukan ijtihad dalam suatu kasus
dari suatu kasus-kasus hokum untuk mengetahuihokum kasus tersebut kemudian apa
yang menjadi dugaan mendominasi (rumusan) hokum kasus tersebut maka jika dia
berijtihad untuk dirinya, kemusian dugaan atas status hukumnya tersebut
berubah, maka dia wajib membatalkan apa yang telah dihasilkan oleh ijtihad
hasil pertamanya.Contohnya seorang yang telah menceraikan istrinya dua kali
melakukan khulu’. Kemudian dia berijtihad yang hasilnya adalah bahwa khulu’
tidak termasuk talak sehingga dia kembali dengan istrinya. Setelah itu jelas
baginya bahwa khulu’ adalah termasuk talak, maka dia wajib menceraikan istrinya
karena berarti dia telah menceraikan istrinya sebanyak tiga kali (bain) dan
untuk dapat kembali harus melalui mukhallil.
Akan tetapi jika ia seorang hakim dan memberi ketetapan
hokum sebagaimana yang ditunjukkan oleh ijtihadnya tiba-tiba dugaan terhadap
setatus hukumnya berubah, maka ia tidak di perkenankan untuk membatalkan
ijtihadnya, karena jika satu hasil ijtihad dibatalkan oleh ijtihad yang lain,
maka akan terjadi pembatalan terhadap ijtihad dan tidak akan pernah berakhir
yang menyebabkan ketidak pastianhukum dan tidak dapat dipercaya (Bek,
[b]835-836).
Jika setiapsetiap ijtihad bisa dihapus maka akan terjadi apa
yang disebut tasalsul yakni mata rantai hokum yang tak berujung pangkal.
Hal ini tentunya akan mengakibatkan kesulitan baik bagi para pegiat hokum (fuqaha)
maupun bagi masyarakat umum untuk mendapatkan hokum yang pasti (Haqq, 2009: 6).
Sebab hasil-hasil ijtihad akan terus saling membatalkan, ijtihad yang dulu
dibatalkan oleh ijtihad yang sekarang, ijtihad yang sekarang akan dibatalkan
oleh ijtihad yang akan datang dan begitu seterusnya. Tidak adanya ketetapan
hukum ini dapat mengakibatkan kesulitan dan kekacauan yang besar.
Diriwayatkan dari Ibnu Sibagh: “ Sesungguhnya Abu Bakar r.a
memberi keputusan hukum pada beberapa masalah. Kemudian Umar ibn Khattab
memberikan keputusan hukum yang berbeda atas masalah-masalah tersebut. Namun
Umar tidak membatalkan keputusan Abu Bakar dan tetap mengakuinya ”. Demikian
pula Umar pernah memberi keputusan dua kali dalam berbagai masalah. Di mana
keputusan Umar yang pertama berbeda dengan keputusannya yang kedua serta beliau
tidak membatalkan keputusannya yang terdahulu. Terkait dengan keputusan yang
berbeda tersebut, Umar berkata: “Tilka ala ma qadlaynaa wa hadzaa ala maa
naqdly” (Itu adalah yang kami putuskan pada masa lampau, dan ini adalah
keputusan kami sekarang”. (Bek, 837).
Dari statmen ini, secara tidak langsung umar r.a, telah
memberikan ketegasan bahwa segala keputusan yuridis yang sebelumnya telah
siambil oleh pendahulunya, Abu Bakar ra., tetap dihukumi sah sebagaimana
keputusan yang pernah diambilnyalalu diubahnya sendiri. Berangkat dari perspektif
inilah, para ulama’ kemudian mengambil penafsiran hokum bahwa ijtihad umar ra.
Tidak dapat mengubah hasil ijtihad Abu bakar. Dan dari sisi ini pula, tercetus
sebuah consensus (ijma’) sahabat, bahwa al-ijtihad la yunqadu bi
al-ijtihad, sebagaimana dilansir oleh al-Suyuti (al-Asybah, tt: 74.
Lihat juga al-Jarhazi, 1997: 134).
Alasan tiadanya penganuliran hasil ijtihad karena ijtihad
kedua belum tentu lebih kuat dibandingkan ijtihad pertama, disamping karena
keduanya sama-sama diperoleh (produced) yang sulit dan berbelit-belit.
Hal yang membedakan keduanya adalah konteks waktu yang tidak bersamaan ketika
diputuskan. Selain itu jika sering terjadi penganuliran produk hokum, maka yang
akan timbul adalah tiadanya kepastian hokum bagi masyarakat, sebagaimana dijelaskan
dimuka.
D.
Perbedaan
Ijtihadiyah di Kalangan para Sahabat pada masa Nabi
Pembicaraan mengenai ijtihad Rasululloh SAW di kalangan para
ulama ternyata sangat pelik dan berbelit-belit. Secara umummereka menyepakati
dalam urusan keduniawiyaan (al-mashalih ad-dunyawiyati) pengaturan
taktik dan keputusan yang berhubungan dengan persengketaan (al-aqdiah wa al-
kushumah). Akan tetapi perbedaan pendapat mereka mengenai ijtihad
Rasulullah SAW dalam hukum agama (asy-Syaukani, t.th:234). hal tersebut pun
masih terjadi perdebatan, apakh nabi boleh ijtihad dengan akalnya atau tidak.
Kemudian diskursus yang kedua adalah apakah para sahabat
boleh melakukan ijtihad atau tidak ketika masih ada Nabi? diferensiasi pendapat
ini nampaknya dapat diakhiri apabila semua pihak yang berbeda pendapat melihat
fakta sejarah yang akan sedikit penulis contohkan, bahwa dalam urusan-urusan
muamalah tentang keduniaan bahkan dalam sedikit urusan keagamaan, sahabat Nabi
melakukan ijtihad.
Ketetapan Rasul terhadap shalat ashar yang dilakukan para
sahabat di bani Quraidzah,al-Buhari meriwyatkan dari Ibnu Umar, dia berkata,
pada waktu perang Ahzab Nabi bersabda; la-yushalliyanna akhadun illa fi bani
quraidzah (janganlah ada seorang pun shalat ashar kecuali di bani
quraidzah). Ternyata para sahabat menjumpai waktu shalat ashar sudahhampir
habis ketika sudah di tengah perjalanan. Maka sebagian sahabat berkata,
“hendaklah kita tidak shalat sampai tiba bani quraidzah” seabagian lagi ada
yang berkata “Lebih baik kita shalat (sekarang saja supaya tidak kehabisan
waktu)”. Akhirnya kejadian tersebut di beritahukan kepada nabi. Dan rasulullah
tidak mengingkari seorang pun dari mereka, baik yang shalat ditengah jalan
ketika masih ada waktu ashar dan yang shalat setelah terbenamnya matahari ketika
mereka sampai di bani quraidzah (an-Nasr, 1996: 211-212).
Dari kisah tersebut adalah sabagian sahabat ada yang larangan rasulullah itu sesuai dengan
redaksinya. Mereka tidak peduli sekalipun waktu shalat ashar sampai habis.
Dalam hal ini mereka lebih mengutamakan larangan rasul yang ini dari pada
larangan Rasul yang lain (yakni larangan untuk mengakhiri waktu
shalat).Sedangkan sebagian yang lain tidak mengartikan larangan tersebut hanya
dari segi redaksinya saja. Mereka mengartikan kalimat Rasul tersebut sebagai
isyarat agar mereka segera sampai di bani Quraidzah. Namun mereka memperhatikan
perintah rasul untuk memelihara waktu shalat. Oleh karena itulah mereka tetap
melaksanakan shalat ashar pada waktunya (an-Nasr, 212).
Contoh lain yang cukup popular sering disebut-sebut sebagai
awal keberanian umar bin khattab melakukan penalaran secara bebas adalah ketika
kelompok sahabat melakukan perjalanan diluar pengawasan Rasulullah. Saat tiba
shalat subuh, mereka tidak menemukan air untuk mandi junub, padahal diantara
mereka seperti Umar dan Muadz bin Jabal (w. 18 H) dalam keadaan berhadas besar,
yang mewajibkan mereka untuk mandi. Muadz dengan sekedar kemampuan berfikirnya,
kemudian menganggap qiyas debu tidak hanya dapat menggantikan air untuk
tayamum, tetapi juga mandi. Berdasarkan hal itu maka ia berguling-guling diatas
tanah sebagai makna menggantikan mandi. Selanjutnya ia shalat subuh tepat
waktu. Berbeda dengan Muadz, Umar justru tetap berpegang untuk menunda
shalatnyasampai kemudian ia mendapatkan air(Ismatullah, 225). Ketika keduanya
mengadu kepada Rasulullah rasulullah melakukan koreksidengan merujuk kepada QS.
an-Nisa [4]; 43: yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau
sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah
Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” (QS. An-Nisa [4]: 43).
Contoh yang lain di ceritakan ada dua orang sahabat yang
sedang dalam perjalanan lalu datang waktu sholat, tetapi mereka tidak dapat
memperoleh air untuk berwudlu, maka mereka bertayamum lalu sholat bersama-sama.
Kemudian mereka menemui air untuk berwudlu, pada waktu itu juga (sesudah
melakukan sholat dan waktu sholat belum habis). Salah seorang diantara keduanya
melaksanakan hasil ijtihadnya(harus mengulangi sholatnya) lalu berwudlu dan
mengulangi sholatnya lagi, sedangkan yang lainnya juga berijtihad bahwa shalat
yang pertama sudah sah, tidak usah diulangi kembali, maka diapun tidak
mengulangi sholatnya (Khallaf [b], tt: 14).
Contoh tersebut terjadi pada waktu-waktu tertentu, yang
tidak memungkinkan untuk menyerahkan permasalahannya kepada Rasulullah terlebih
dahulu, sebab jarak yang jauh sekali atau adanya kekhawatiran akan hilangnya
kesempatan dan waktu.Terlepas apakah hasil ijtihad sahabat itu dibenarkan oleh
Rasulullah atau ditolak (dikoreksi), hal yang patut untuk dicermati bahwa
riwayat-riwayat tersebut mengindikasikan inisiatif ijtihad sahabat pada masa
Rasulullah SAW. Timbul bukan semata-mata karena adanya dorongan dan izin dari
Rasulullah SAW. Tetapi banyak juga lahir atas inisiatif sebagian sahabat.
Disamping itu masih berdasarkan riwayat diatas, tampak bahwa Rasulullah telah
memberikan bimbingan, tuntunan bahkan rekomendasi kepada para sahabat untuk
melakukan ijtihad. Selain itu, Rasulullah SAW mengakui kebenaran ijtihad para
sahabat sepanjang “metode” yang digunakan benar dan tidak bertentangan dengan
Prinsip yang pernah ditempuh Nabi.akan tetapi pada kesempatan lain Rasulullah
SAW menolak hasil ijtihad sahabat karena metodologi yang digunakan tidak tepat
atau karena ijtihad yang dilakukan sahabat bukan pada tempatnya (Lapangan
ijtihad) seperti tercermin pada riwayat muadz dan Umar diatas.
Dari beberapa contoh ijtihad di atas memberikan gambaran
bahwa ijtihad sahabat pada Rasulullah SAW. Belum dapat dianggap sebagai alat
penggali hokum yang sebenarnya, mengingat penentuan akhir dari hasil ijtihad
sahabat itu masih merupakan otoritas rasulullah SAW. Dari kerangka inilah dapat
dipahami mengapa ulama’ hadis tidak menyebut ijtihad sahabat sebagai ijtihad,
tatepi tetap sebagai hadis nabi yang bersifat taqririyah.
BAB III
KESIMPULAN
Karena kualifikasi yang dirumuskan secara formal-teknis itu
diyakini sulit untuk dipenuhi, maka yang muncul adalah keengganan berijtihad.
Oleh karena itu syarat-syarat tersebut harus dipahami secara elastis-dinamis
sesuai dengan kebutuhan mujtahid, dan dengan melihat problem hokum yang
akan dipecahkan. Artinya syarat-syarat ijtihad disesuaikan dengan problem yang
dihadapi masing-masing umat Islam sejalan dengan situasi dan kondisinya.
Diskursus pembatasan ijtihad yang pada intinya tidak boleh
menyentuh nash qath’iy pada gilirannya dikristalkan menjadi kaidah “Laa
masaagho li al-ijtihad fiimaa fiihi nasun sharihun qath’iyyun”.Konsekuensi
adanya kaidah tersebut menyebabkan pembeharuan hukum Islam—meminjam istilah
Prof. Qodri Azizy—hanya bersifat parsial ad.hoc. Akan tetapi kaidah
tersebut seolah luntur ketika oleh Syahrur—dengan teori hudud-nya—yang
sudah banyak penulis contohkan di atas, banyak menguraikan secara sistematis
nash yang Qath’iy tersebut dapat di ijtihadkan.
Walupun toh terkait dengan ijtihad tersebut akan menimbulkan
ikhtilaf seperti dicontohkan pada masa sahabat., meskipun demikian bahwa
tidak ada sahabat yang memaksakan pendapatnya kepada yang lain. Perbedaan
pendapat mereka masih dianggap sesuatu yang wajar. Kebebasan pendapat
(khususnya yang berkaitan dengan fiqh) diantara mereka tidak kenal tendensi
untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Sikap toleransi terhadap orang lain
telah melahirkan suatu kekuatan moral diantara para sahabat untuk saling
kekurangan dan kelemahan informasi keagamaan diantara mereka, sampai batas
optimal.
Pada sisi lain ikhtilaf dikalangan sahabat memberi
peluang bagi berkembangnya wawasan keilmuan. Hal ini sejalan dengan pendapat
imam zarkasyi bahwa Allah tidak selamanya menurunkan hokum syariat bagi manusia
sebagai dalil yang bersifat qath’iy tetapi juga ada yang bersifat dzanny
sebagai wadah untuk memperluas wawasan diantara manusia.Perbedaan hasil
ijtihad justru melahirkan produk hukum Islam yang beragam, modikatif dan tidak
sektarian. Wallahu ‘alam
DAFTAR PUSTAKA
Azizy, A. Qodri, 2003, Pengembangan
Ilmu-ilmu Ke-Islaman, Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam.
Depag RI.
---------------, 2004, Reformasi
Bermadzhab; Sebuah Iktisar Menuju Ijtihad Saintific Modern, Jakarta:
Teraju.
Al-Baqir,
Muh, Otoritas dan ruang lingkup ijtihad, dalam Ijtihad dalam
Sorotan, Haidar Baqir dan Syafiq Basri,
1996, Bandung: Mizan. Cet, IV.,
Biek, Muhammad Khudhori, 2007, Ushul
al-fiqh, terj. Faiz el Muttaqien, Jakarta: Pustaka Amani.,
---------------, tt, Tarikh
Tasyri’ al-Islami, Kairo: Maktabah Al-Azhar.,
Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, Diterjemahkan
oleh yayasan Penerjemah Al Qur’an, ed. Revisi, (Semarang: Toha Putra,
1995).
Faruki, Kemal, 1994, Islamic
Jurisprudence, Delhi: Adam Publishers, Cet. I.,
Haq, abdul,et al, 2009, Formulasi
Nalar Fiqh, Surabaya: Kalista. Jilid 2.
Ismatullah, Dedi, 2011, Sejarah
Sosial Hukum Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Iqbal, Muhammad, 1989, The
Reconstruction of Religious Thought in Islam, Lahore: Institut of Islamic
Culture,.
Jamil, Faturahman, 1999, Filsafat
Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet II.,
al-Jarhazi,
Abdullah bin Sulaiman, 1997, al-mawahib
al-saniyyah, Beirut: Dar al-Fikr,.
Khallaf,
Abdul Wahab, 1978, Ilmu Ushul Fiqh, terj, Moh. Zuhri et al,
Semarang: Dina Utama.,
---------------,
1968, Khulasoh Taarikh Tasyri’ al-Islami, ttp
Al-Khatib,
‘Abdul Karim, 1984, Saddu bab al- Ijtihad wa ma Tarattaba, Beirut:
Muassah Risalah.,
Musahadi,
2012, Madzhab Konservatif VersusMadzhab Kritis; Kajian Hukum Islam di
Pesantren,Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books.,
Muallim,
Amir & Yusdani, 2004, Ijtihad dan Legislasi Hukum Islam, Yogyakarta
An-Nashr,
‘Abdul Jalil Isa Abu, 1996, ijtihadur-Rasuul Shalallahu Alaihi Wasallam, Kuwait:
Darul Bayan.,
An-Naim,
Abdullah Ahmed, 1990, Dekonstruksi Syariah; Wacana Kebebasan Sipil, Hak
Asasi Manusia, dan Hubungan International dalam Islam, Yogyakarta: LKis
Group. Julid I,.
Sjadzali,
Munawir, 1997, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina,.
Supena
ilyas dan M. Fauzi, 2002, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta:
Gama Media kejasama Walisongo Prees.,
Syahrur,
M, 1990, al-kitab wal Qur’an, kira’ah Mu’asirah, Damaskus:
al-Ahali,
al-Suyuthi,
Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman, Tth, al-‘Asybah wa al-Nazha’ir fi al-furu’. Surabaya: Al-haromain.
Asy-Syarafi,
Abdul Majid, 1998, al-ijtiahad al-jama’I fi al-Tasyri’ al-Islami, Qatar:
Wizaratul awqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyah.,
Asy-Syaukhani,
M, tt, Irsyad al-Fuhul, Beirut: Darul Ihya’ at-turas Arabi.,
Al-Syatibi,
al-Muwafaqat, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah,. juz I.
Ash-Siddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi, 1997, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra.
Nasution, Harun, Ijtihad Sumber ajaran
Islam, dalamIjtihad dalam Sorotan, Editor, Haidar Baqir dan Syafiq,1996,
Bandung: Mizan. Cet, IV.,
0 komentar:
Posting Komentar